Cerita, Cinta, dan Kita

Selasa, 13 Desember 2016

Aku juga merasa

Aku tak bermaksud bersikap jahat padamu, aku pun tak bermaksud untuk tak mempedulikanmu. Bukan aku tak sayang, bukan pula karena aku tega. Aku hanya ingin berusaha memenuhi apa yang kau butuhkan, bukan apa yang kau inginkan. Begitu pun denganku. Tak perlulah kau kembali hanya dengan alasan ingin bertemu dan melepas rindu denganku, itu tak bisa kau jadikan alasan untuk kepulanganmu. Bukankah kau selalu memintaku untuk bersabar? Aku pun sama, ingin berjumpa dan melepas rindu yang menggantung, sejenak hilangkan memori tanpamu di saat-saat yang lalu. Bersabarlah. Aku tahu, di sana kau sedang berjuang. Di sini pun sama. Kita sama-sama sedang berjuang dalam arena yang berbeda. Semoga sabar dan ikhlas selalu tertancap dalam dada. Ruang ini masih ku tutup rapat, di dalamnya masih tertata rapih kenangan tentangmu, dirimu, dan hanya untukmu. Sabarlah sebentar.
Kemarin, hari ini, dan esok kau akan selalu menjadi temanku, tak peduli apapun yang terjadi, kau tetap akan menjadi temanku. Kemarin dan hari ini kau adalah teman hatiku, dan semoga esok kaulah teman hidupku. Mari kita selami rindu dengan doa. Jikalau memang pada akhirnya kita tak bersama, bukankah Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan? Percayalah pada-Nya. Tak ada skenario terindah selain dari-Nya. Kita hanya berusaha untuk hari ini dan esok. Jika esok bukan kau yang menjadi teman hidupku, semoga kau akan tetap menjadi temanku, teman baikku.
Aku tidak sedang menakutimu, apalagi menodongmu. Bukankah impian tak selalu menjadi nyata? Maka dari itu, panjatkanlah doa, memohon pada-Nya agar namaku selalu ada dalam skenario hidupmu, dan namamu tertulis indah dalam skenario hidupku. Semoga kau adalah apa yang aku butuhkan, dan aku adalah apa yang kau butuhkan, agar Ia menjadikan kenyataan impian yang selama ini kita cita-citakan. Percayalah, Ia selalu mendengar apa yang kita minta.

Kebumen, 13 Desember 2016
22.44 WIB
Read More

Jumat, 23 September 2016

Salam cinta dari calon putrimu

Selamat pagi, Bu. Apa kabar? Lama sudah kita tak berjumpa. Aku harap, ibu baik-baik saja disana, dan semoga ibu selalu mendoakan ku seperti aku yang selalu mendoakan ibu. Bu, putramu sudah membuatku jatuh cinta. Putramu mampu membuatku merasa jatuh cinta di setiap waktunya. Terkadang memang ia bersikap menyebalkan, tapi itu manusiawi kan? Sejauh ini, aku bisa mengerti bahwa kau adalah Ibu terbaik, kau tahu kenapa? karena kau telah melahirkan putra yang luar biasa, kau telah mendidiknya dengan penuh cinta dan kasih sayang, ia selalu hidup dalam lingkungan kasih sayang yang tak pernah padam. Oleh karena itu, ia selalu menyayangiku, rasa sayangnya tak pernah padam, sebagaimana apa yang ibu ajarkan padanya.
Bu, aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada putramu. Aku juga jatuh cinta pada seluruh keluargamu. Bolehkah aku meminta putramu untuk melanjutkan didikan orang tua ku di masa depan nanti, bu? Bolehkah aku meminta putramu untuk menjadi imamku di setiap sujudku? Aku tidak akan membiarkan hakmu hilang begitu saja ketika aku meminta putramu, bu. Ia tetap putra kesayangan Ibu yang akan terus menyayangi ibu. Mungkin di masa depan nanti, di rumahmu akan bertambah satu putri yang menemani kehidupan putramu dan akan membuat ramai suasana rumah dengan malaikat-malaikat kecil yang lucu.
Bu, terkadang aku marah dan kesal padanya. Ia selalu bertindak ceroboh, ia juga sering bertindak semaunya, putramu masih saja jorok, dari pakaian hingga barang-barangnya tak pernah ia rapihkan sendiri. Jika tidak aku, pastilah ibu yang merapihkannya. Jika sedang berkendara pun, tak jarang ia selalu mengupil sembarangan, kentut pun sembarangan, bahkan ia sering mengentuti ku, bu. Tapi tak apa bu, aku ingin bisa terus membantunya dan menemaninya.
Bu, sudikah ibu menerima putri yang banyak kekurangannya ini untuk berada di rumahmu? Aku tak pandai memasak, aku tak rajin membersihkan rumah, aku pun tak pandai membereskan isi rumah, terkadang aku masih bangun kesiangan, terkadang perkataan dan sikapku selalu menyakitkan, aku pun pelupa dan juga ceroboh, aku senang berpetualang daripada di rumah, bu. Masih maukah ibu menerimaku sebagai putrimu?
Bu, terimakasih banyak selama ini kau sudah menyayangiku, meskipun kau tak melahirkan ku. Kau selalu menanyakan kabarku dan selalu ingin tahu kegiatanku, kau yang selalu rindu akan kehadiranku di rumahmu, kau yang selalu memberiku macam-macam agar aku tak kekurangan, kau yang selalu mencurahkan kasih sayangmu agar aku tak merasa kesepian. Terimakasih banyak, bu. Padahal selama ini aku telah banyak menyita waktu putramu, putramu jarang berada di rumah dan bercengkrama denganmu, tapi kau tak pernah mempermasalahkannya. Terkadang aku pun sering memarahinya dan bersikap kasar padanya, tapi kau tetap lembut padaku, kau tetap menyayangiku.
Semoga saja kau akan benar-benar menjadi ibu ku di masa depan nanti. Meskipun aku tidak terlahir dari rahimmu, tapi aku mau menjadi putrimu, bu. Aku mau hidup bersama denganmu dan juga putramu. Jagalah putramu selama aku belum menjadi putrimu, bu. Aku titipkan ia padamu, agar selalu kau panjatkan doa terbaik untuknya, agar selalu ia menjadi orang yang penyayang dan tanggung jawab, karena hanya engkau bu, yang aku percaya untukku simpan lelakiku pada pangkuanmu.
Terimakasih bu, maafkan calon putrimu ini yang masih banyak memiliki kekurangan, akan aku lepas sedikit demi sedikit kekurangan itu, agar nanti aku tidak lagi merepotkanmu.
Salam cinta dan rindu
-Calon Putrimu-

Kebumen, 23 September 2016
09.15 WIB
Read More

Selasa, 20 September 2016

Jangan bosan, ini masih tentang rindu

setiap harinya, waktu terus bertambah, begitupun rindu. ia terus bertambah, tak peduli sebesar apa aku menyediakan tempat untuknya, tak peduli bagaimana tersiksanya aku terjerat rindu. hei rindu, jika kau ingin tahu bagaimana rasanya aku dihantui olehmu, kemarilah, dekati aku, akan aku tunjukkan luka-luka ku karenamu.
Sanggupkah kau melihat luka-luka yang menganga ini? merahnya tak pernah padam, warna-warna gelap memenuhi lingkar luka ini. sudikah kau mengobatinya? hilangkan sedikit saja merahnya, agar aku tak merasa terlalu tersiksa.
jika kau sebuah batu, akan aku hancurkan kau berkeping-keping hingga menjadi butiran pasir yang hilang terbawa angin. jika kau sebuah air, akan aku teguk kau sampai habis tak tersisa. jika kau adalah hujan, aku akan berteduh agar tak setetespun darimu mengenai tubuhku. jika kau adalah petir, akan aku tutup telingaku rapat-rapat agar tak mendengar teriakanmu. namun sayangnya kau hanyalah rindu. hanya sebuah rindu. yang tak bisa ku hindari, yang tak bisa ku hancurkan, menutup mata agar tak melihatmu pun aku tak sanggup.
untukmu sang pengirim rindu, sedang apa disana? apakah kau juga merasakan rindu menggelayuti pikiranmu? sanggupkah kita bertahan bila terus rindu menghantam disetiap detiknya? mari kita saling menyelami rindu dengan doa.

Kebumen, 20 September 2016
20:35 WIB
Read More

Jumat, 29 Juli 2016

Yuhuuu~

Disini semua perbedaan melebur, membaur menjadi satu. Semoga tak ada lagi sekat antara kita, semoga selalu sedekat ini. Meskipun hadirku tak akan memberikan pengaruh apapun pada hidup kalian, sesekali ingatlah aku yang pernah mengisi warna di hidup kalian. Segala kesah tentang ku, mohon dimaklumi, karena aku juga manusia seperti kalian yang bisa berbuat salah dalam sadar maupun tidak. Selalu berbagi, dan teruslah menyatu, agar tak ada pemisah diantara kita ^_^

Pati, 29 Juli 2016
22:03 WIB
Read More

Kamis, 19 Mei 2016

Perpisahan

Memang tegar tak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah lama kau biarkan aku menggantungkan harapanku di pundakmu, akhirnya kau biarkan aku jatuh dan berusaha menyelamatkan diriku sendiri. Kenapa setelah aku terbiasa denganmu, dengan tega kau lepaskan aku, kau ingin mengajarkan ku menjadi wanita tegar? Ya, aku bisa. Tapi tak secepat itu. Masih berat bagi ku merelakanmu pergi dengan jalanmu, dan kau membiarkan ku berjalan di jalanku. Melihatmu yang kian menjauh dari pandangan. Rupanya memang sangat sulit masih bisa tersenyum di depanmu, masih bisa memaklumi segala kesibukanmu, masih bisa memberimu semangat agar kau tak merasa sendiri. Tapi aku? tak ada yang menguatkan, segalanya aku lakukan sendiri. Benarkah tak ada celah di sibukmu untukku? Benarkah aku memang tak bernilai untukmu? Selalu, setiap dalam sibukmu kau acuhkan ku. Kau tahu? Aku tidak setegar itu. Dan aku menyadarinya, ternyata aku bukan wanita tegar :)
Read More

Jumat, 13 Mei 2016

Yang Menantimu

Seberapa jauh pun kita melangkah ke arah yang berbeda, kita pasti akan bertemu
Pasti
Seburuk apapun masa lalumu
Sehina apapun masa laluku
Mari kita ciptakan masa depan yang lebih baik
Tinggalkan labirin kehidupan yang membuat pandangan buram
Langkahkan kaki ke taman penuh warna
Disana ada aku

Yang menantimu

-Hariyatunnisa Ahmad-
Read More

Hanya Tentang Waktu

Berdirilah
Berjalan beriringan dengan masa depan
Tapi jangan biarkan dendam masa lalu memenuhi ruang hatimu
Berdamailah
Karena tak kan pernah ada masa depan tanpa masa lalu
Bahkan pelangipun pernah mengkhianati hujan
Tapi bukankah hujan tetap setia menunggu kedatangan pelangi?
Meskipun pelangi sering mengkhianati hujan, penghuni alam lebih menginginkan kehadiran pelangi
Kau tahu bagaimana hujan?
Ia tetap melimpahkan kebahagiannya meskipun seringkali dirutuk
Ia tak pernah lelah apalagi menyimpan dendam pada pelangi
Hujan yang selalu dirundung pilu
Menangis tersedu setiap waktu
Pelangi tak pernah tahu
Pelangi hanya tersenyum dalam ketidaktahuannya

Ironi bukan?

-Hariyatunnisa Ahmad-
Read More

Entahlah

Kelam malam tak banyak bertutur
Hanya pekatnya yang mewakili
Relung ini entah pergi kemana
Ia menjangkau semua kemungkinan, hingga tak ada satupun yang di dapat
Tersudut dalam riuhnya dunia
Tak ada mata yang melihat, menoleh pun enggan
Seperti inikah dunia yang seharusnya kumiliki?
Tak tegakah Kau membiarkanku terkapar tanpa teman?
Sepi ini semakin merenggut jiwaku
Bertemankan pekat malam tanpa bintang
Bulanpun malu untuk menampakkan wajahnya
Cepatlah datang hai pagi

Aku menunggumu dibalik jendela kamar

-Hariyatunnisa Ahmad-
Read More

Rasa Ini

Rasanya beban ini terlalu berat di pundakku, penat sekali hidup ini. Kau tahu? dengan hanya melihatmu saja aku ingin sekali bersandar di pundakmu, diam meresapi nyamannya berada di pundakmu, tak perlu bicara hanya siapkan saja pundak dan dadamu untuk ku bersandar. Tapi, belakangan ini aku merasa aku selalu terlihat lemah di hadapanmu, sampai akhirnya aku urungkan niat untuk meminjam pundakmu, aku ingin terlihat tetap kuat untukmu, meskipun sebenarnya aku benar-benar ingin sekali menangis di pundakmu, bersandar selama yang aku perlukan.
Aku tahu, kau tidak hanya sebagai teman hidupku, tapi bagiku kau juga ayahku, kakakku, sahabat terbaikku, semuanya ada padamu. Aku benar-benar lelah, ingin rasanya beristirahat barang sejenak untuk melupakan semua penat yang menggantung di kepalaku, ingin meluapkan segala keluh kesahku padamu, ingin menangis sejadi-jadinya dalam pelukanmu. Tapi sekali lagi, aku urungkan niat itu, agar aku tidak selalu terlihat lemah di hadapanmu.
Read More

Rabu, 16 Maret 2016

Hujan untuk Senja

Created by Hariyatunnisa Ahmad
Prolog

            Jam dinding menunjukkan pukul 17.30, Reina mengelus perutnya manja sembari menatap langit di taman belakang rumah. “Senja ini cantik sekali, semoga kau juga akan secantik senja ini dan meneduhkan seperti jingganya” ujar Reina lembut. Tiba-tiba guntur datang saling bersahutan, bulir-bulir hujan mulai turun bergantian membasahi tubuh Reina. “Rei, masuklah. Jangan sampai kau kehujanan” teriak Endi, suami Reina.
            Lama mereka bercengkrama di depan televisi yang mempertontonkan acara komedi, jari-jemari yang menyatu diantara dua tubuh sepasang suami istri itu semakin erat merangkul satu sama lain. Jemari Reina semakin erat menggenggam Endi, mulutnya sedikit mengeluarkan suara rintihan menahan rasa sakit. “Kau kenapa?” tanya Endi. Reina tak menjawab, ia hanya meringis dan memegangi perutnya yang terasa sangat mulas.
            “Ya Tuhan! Jangan-jangan kau....” Endi memotong kata-katanya sendiri, dengan secepat kilat ia mengambil kunci mobil yang bertengger di dinding kamarnya. Dengan susah payah Endi mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya, tubuhnya gemetaran, ia takut dan juga gugup. Endi membawa Reina ke dalam mobil dan mengantarnya ke rumah sakit terdekat.
            Sampai di ruang persalinan, Reina semakin merintih kesakitan. Endi tak sanggup melihat Reina menahan rasa sakitnya sendirian. Peluh bercucuran menghiasi  wajah cantik Reina. Diluar sana, hujan semakin deras menjatuhi tanah, gemuruh bersahutan tak memberi jeda. Wajah Endi terlihat pucat, wajah Reina lebih pucat. Semuanya menunggu akan kehadiran buah hati yang ditunggu-tunggu selama ini, buah cinta Reina dan Endi yang pertama.
            Menurut dokter, janin yang ada dalam kandungan Reina adalah seorang putri cantik nan jelita. Ya, jenis kelaminnya perempuan. “En...di...” lirih suara Reina memanggil Endi yang berdiri di sampingnya, menemaninya sedari tadi. “Iya sayang. Sedikit lagi, kau pasti bisa. Putri jelita ingin melihat wajah cantik yang melahirkannya” ucap Endi dengan tenang meski terlihat raut wajahnya menggambarkan ketakutan.
Read More

Selasa, 16 Februari 2016

Diam itu Pengecut

Tuhan menganugerahkan mu sebuah mulut beserta lidahnya. Bila memang sulit berbicara maka diam (mungkin) merupakan jawaban. Menurutmu. Beranilah. Jangan jadi pengecut yang bersembunyi di balik diam. Kau mengenalku, kau mengerti dengan baik bagaimana diriku, tak apa bukan jika kau berbicara yang sebenarnya padaku?
Terimakasih bila kau mengira hal tersebut akan menyakitkan ku, sehingga kau lebih memilih untuk diam. Tapi aku pun bukan Tuhan yang bisa mengetahui isi hati setiap manusia, aku butuh sesuatu untuk dijelaskan.
Bolehkah aku bersikap antagonis sekali ini? Bukan, bukan karena aku merasa akulah yang paling benar, akulah orang terbaik. Kau tahu bagaimana rasa jengah menyergapmu? Jangan biarkan rasa itu datang padaku, dan aku berbalik arah dari pandanganmu. Aku masih temanmu.
Manusia bukanlah pajangan dinding yang bisa diabaikan, hatinya diciptakan oleh Tuhan, karenanya sangatlah kuat. Bukan berarti hati yang kuat, bisa kau perlakukan semaumu, bisa kau iris setiap kau merasa sakit, bisa kau lempar jika kau sedang marah, bisa kau injak-injak jika kau merasa terhina.
Kau cerdas, aku percaya. Maka dari itu aku pun percaya kau bisa menyelesaikannya dengan cerdas.
Read More

Rabu, 10 Februari 2016

Karena Kata Membuatmu Percaya -Prolog-

Malam ini masih di hiasi hujan, rintik – rintiknya menemani setiap detik di waktu tidurku, bunyi – bunyi petir yang menyambar, sekejap melintas beralun tenang seakan mengerti keadaanku, meramaikan dunia mimpiku, meski langit gelap tapi Tuhan masih memberi sedikit cahaya di langitku. Tak lama, Iris menampakkan sedikit keindahannya, melintas di sepanjang penglihatan, mewarnai langit yang sedari tadi mendung, pekat tak menarik.
            Semilir angin berhembus bersahutan dengan rinai hujan yang masih setia membasahi bumi. Dalam lelapnya malam yang tak tersapa, dengan asa digenggaman jemari, ku beranikan diri untuk menyapa mimpi. Sedang apa aku didalam mimpi? Ah, seharusnya ku putar saja anak kunci dipintu itu, tak usah bertanya, karena hanya aku yang mengetahui jawabnya.

Iris : dewi pelangi dalam mitologi yunani

***

Aku berdiri sendiri ditengah kerumunan orang yang lalu lalang melintasi jalanan, tak ada satupun yang ku kenal. Semuanya terasa asing, suasana ini, dan juga orang – orang ini. Tubuh ini terasa kaku, bibir ini tak ingin berkata meski hati berkali-kali berteriak memanggil seseorang yang membelakangiku, seseorang yang sempat menoleh namun tak sempat ku sapa dengan baik. Seharusnya ku biarkan ia pergi berlalu dan tak menoleh lagi, tapi kali ini aku memberinya kesempatan untuk kembali melihatku dan meninggalkanku, kesekian kalinya aku kehilangan.
Kehilangan. Kata yang mungkin menjemukan untuk semua umat, termasuk diriku. Bukan lagi berbicara tentang kekuatan saat ditinggalkan, kepiawaian menghadapi kesendirian, kesanggupan mencintai kesepian. Kehilangan yang selalu menjadi topik mengerikan pada pembicaraan apapun. Sekarang bukan lagi saatnya bercengkrama dengan ketakutan akan rasa ditinggalkan, sendirian bahkan kesepian, sudah saatnya beranjak dari ketakutan itu dan belajarlah mencintai kesendirianmu. Karena sendiri bukan berarti sepi, karena sendiri bukan berarti hampa.
“Ini hanya mimpi” bisik hati kecilku menenangkan. “Tak perlu khawatir, aku akan datang menemuimu, aku tak pernah melupakanmu, hanya sedikit melihatmu berbeda karena waktu yang merubahnya” suara parau yang tak asing ditelingaku, seseorang yang mungkin tadi meninggalkanku, kini berada di belakangku sembari membisikkan kata yang tak ingin aku dengar dari bibirnya. Terpaku terpana merasakan hembusan nafas dari mulutnya yang berhembus menjalari telinga dan leher jenjangku, aku masih tak ingin menoleh dan melihat siapa yang sedang berbicara padaku, ku biarkan perasaan ini mengambang dibatas waktu senja ini.
 Aku tak pernah mengira akan kembali bertemu dengan masa lalu yang akupun belum bisa berdamai dengannya, “untuk apa kau disini?” ucapku kasar. Sedetik kemudian ia sudah tak mengukur jarak di depan wajahku, kian mendekat dan terus mendekat, “tak bisakah kau sedikit saja bersikap ramah padaku?” ia menyeringai dengan mata penuh dendam. Aku bisa melihatnya.
            “Tak perlulah bagiku untuk beramah tamah di hadapanmu, tak cukupkah bagimu untukku membodohi diriku sendiri?” serangan telak tak mampu membuatnya berkutik. Ia terdiam. Penuh tanda tanya, ia pergi. Ya, aku memang tak ingin berdamai dengannya, berjabat tangan dengannya pun aku tak sudi. Enggan hatiku untuk menilik kembali masa lalu yang telah hilang itu.
            Aku terus berjalan dikoridor waktu, entah dimana jalan keluarnya, tak ada celah, tak ada pintu, tak ada jalan kembali. Kemana sebenarnya ia membawaku? Pikirku tak memberi jawab bahkan tak membiarkanku sejenak untuk beristirahat. Terus berjalan, ditepian tiang koridor aku melihatnya, melihat masa laluku yang telah berdamai denganku.
            “Ada apa?” suaraku membuatnya terkejut, “kemarilah, lihatlah ini!” ia bergeser dan terlihatlah sebuah benda kecil nan megah tak bercahaya namun kian lama kian meredup. “Apa itu? Kenapa kau ingin aku melihatnya?” Ia terdiam sejenak. “Bukan kau yang melalui waktu, tapi biarlah waktu yang melewatimu. Berdamailah. Karena waktu tak pernah memberimu kesempatan kedua”. “Aku mengerti”. Terhenyak menatap benda kecil yang kian bersinar hingga menyilaukan mataku. Hilang. Ia menghilang.
Ditepi tebing curam, ku lihat diriku berdiri tanpa teman, ditengah rindangnya pepohonan yang tumbuh secara liar, diterkam angin yang berhembus kencang semakin lama tubuh ini semakin goyah, terpejam mata ini dan perlahan pijakan kaki bergerak maju hingga akhir tepian tebing. Teriakan kasar air laut menghujam tubuh yang terjerembab didalam air, ombak mengombang-ambing tubuh lelah yang tak berjiwa.

***

Tersentak mata ini terbuka, langit-langit kamar terlihat jelas dengan lampu padam yang menggantung menghiasi langit kamar, keringat tak henti mengalir disekujur tubuh, nafas yang memburu seperti sehabis maraton selama berjam-jam. Menghirup nafas dalam, merasakan angin-angin yang masuk melalui pori-pori yang terbuka, melepaskan penjara udara melintasi bibir mungil yang agak terbuka. Terduduk ditepi ranjang, menggenggam kunci mimpiku yang terlihat berkarat. Telah lama aku tak membukanya, mereka tak inginkan aku datang.
Dunia gelap tak berwajah, memendam beberapa kenangan yang terkubur perlahan dalam pikiran, rinai hujan ini meresonansi kembali pikiran-pikiran yang seharusnya sudah ku lupakan. Perlahan menengadahkan tangan, mengumpulkan butir-butir hujan yang jatuh menetes dari atap-atap rumah. Semburat cahaya mulai nampak, mata yang terbuka disambut indahnya pelangi, hari mulai terang dan hujan semakin menyurut. Langit sudah lelah untuk menangis, meratapi kehidupan yang tak kunjung membaik, semakin kejam dan terus menusuk dada hingga sesak. Aku berdiri ditengah ribuan duri yang tumbuh di kisahku, tertatih menggapai muara disudut jalan, menepi pada bara api yang membara, tak ada waktu untuk berhenti.
“Lois, bukan aku tak ingin menerimanya. Aku hanya... ah sudahlah, lupakan saja!”. Seperti malam sebelumnya, temaram kini semakin pekat, dinginnya melekat hingga ke tulang, menyapa setiap bulu kudukku untuk berdiri merasakan tebasan angin yang menerpa tanpa henti. Kebisuan malam terus membungkam hati untuk tak lagi bicara, sepatah katapun, tak sedikitpun.
Cahaya lampu yang redup kian membutakan mataku, mengajakku untuk berkeliling di dalam kegelapan, apakah hari memang tak pernah seindah ini? Berdiam dalam ketenangan. Hanya bermandikan cahaya bulan.
            Ah aku melihatnya, dia yang dalam gelap tak bercahaya, menyatu dengan alam yang tak terduga kapan tertiup angin. Langit-langit kamar yang diam seribu bahasa enggan untuk menjadi saksi hadirnya ia dalam kehidupanku. Disini, dilantai ini ia pernah menapaki langkah kakinya untuk pertama kalinya, tepat dihari ini tiga tahun yang lalu.
Read More

Senin, 11 Januari 2016

Petrichor-ku



Malam ini aku kembali lagi dengan segudang cerita risauku tentangnya. Maaf jika kau lelah untuk mendengarnya, aku hanya ingin berbagi, agar pundakku tidak begitu berat mengangkatnya.
Berawal tanpa cinta, tanpa rasa, tapi aku berusaha untuk menumbuhkannya, dan aku sudah jujur padanya bahwa aku menerimanya tanpa rasa, tapi rasa itu tumbuh seiring berjalannya waktu, ia membantuku untuk menumbuhkan rasa itu. Hingga akhirnya ia juga berkata jujur, memintaku untuk membantunya bangkit dari masa lalunya, aku tak pernah peduli tentang masa lalunya, bukan aku egois tak mau menerima masa lalunya, tapi itu hanyalah masa lalu yang telah ia lewati, aku tak punya urusan dengan masa lalunya, seburuk apapun, sesulit apapun masa lalunya dengan yang lain, aku tak pernah mempedulikan. Karna aku adalah hari ini, esok dan seterusnya untuknya. Masa lalu hanyalah masalah kemarin yang tak akan pernah kembali lagi.
Pelan-pelan, kami sudah berdamai dengan masa lalu kami masing-masing dan mulai menjalani “kita” yang masa kini. Aku senang, aku bahagia memilikinya. Jujur, yang aku rasakan adalah ia sangat peduli dan sayang padaku, mungkin rasanya lebih besar dari yang aku miliki, tapi mungkinkah kepercayaannya melebihi kepercayaanku? Hanya ia dan Tuhan yang tahu jawaban pastinya.
Tepat setahun sudah kami lalui bersama, semuanya mulai terungkap perlahan-lahan. Aku mulai bisa menerima sisi buruk dirinya, dan begitu juga dia seharusnya. Karena sebuah hubungan itu adalah tentang dua insan yang saling memendam rasa untuk kemudian diungkapkan dengan caranya masing-masing. Lantas jika hanya seorang yang memendam rasa untuk diungkapkan, apakah itu masih bisa dikatakan cinta?
Aku memang pernah memiliki sahabat baik lawan jenis, sangat dekat, sangat akrab, sampai-sampai semua orang mengira kami adalah sepasang kekasih. Tapi kedekatan itu tak lagi berlaku, ketika aku memilihnya. Aku meyakini hatiku, aku memilihnya bukan untuk mengecewakannya apalagi untuk menduakannya. Tak ada lagi teman dekat lawan jenis yang menghiasi petualangan ku di dunia, tiada lagi kata-kata manis dari teman akrab lawan jenis yang ku terima. Karena aku bersamanya, cukup bagiku mendengar semua perkataannya meski tak semuanya manis, cukup bagiku pergi bersamanya meski tak selalu tahu tujuan, cukup bagiku menggandeng tangannya meski kadang tak selalu diterima dengan baik. Bukan aku kekanak-kanakan, aku hanya merasa nyaman, bersamanya, aku merasa kenyamanan seperti halnya aku merasa nyaman ketika berada disamping seorang lelaki yang sangat aku cintai didunia ini, Ayahku. Mungkin alasan “cinta” itu juga yang membuatku merasa nyaman berada dekat dengannya.
Aku percaya sepenuhnya, ia takkan pernah berani untuk melukaiku, meski terkadang ucapannya sangat mengiris hati, perlakuannya hingga tak sampai hati aku untuk melihatnya. Tapi aku sungguh percaya, hanya dengan kata-katanya “aku sayang kamu” sudah cukup membuatku percaya seutuhnya.
Namun sepertinya Tuhan memberi sedikit pelajaran untukku, agar tak mudah mempercayai seseorang, sekalipun itu adalah orang yang paling kita cintai. Aku berusaha menjaga hatiku, menahan semua emosi bahagia untuk teman akrab lawan jenisku. Selama ini aku merasa “aku bangga menjadi kekasihmu, aku bahagia memilikimu” selalu ada seseorang yang mampu ku andalkan saat tak ada lagi cara untuk berdalih, selalu ada seseorang yang mempercayaiku saat semua orang melihatku sebagai pengkhianat, selalu ada seseorang yang menyayangiku tulus disaat semuanya mencibir dibelakangku. Tapi entah kenapa rasa seperti itu bisa lenyap dalam satu waktu. Cukup singkat, dalam sekejap, semua sirna.
Saat ia tak lagi mempercayaiku untuk memberi kabar, saat ia bisa pergi dengan seenaknya tanpa sepengetahuanku, saat ia bisa bermesraan dengan yang lain dibelakangku. Jujur saja, memang aku bukanlah wanita yang terlalu peduli dengan masalah kehidupan, aku biarkan saja semuanya berjalan seperti adanya, akankah ia memberitahuku? Sampai akhirnya tetap tidak.
Jika ia mudah mengumbar kata sayang kepada setiap wanita, lalu dimana aku harus merasa special untuk menjadi kekasihnya? Jika ia mudah membawa setiap wanita pergi dengannya, lalu dimana aku harus merasa bangga memiliki seseorang yang mampu ku andalkan? Jika ia tak pernah sempat memberiku kabar, memberitahu “jadwal kehidupannya” kepadaku, lantas dimana aku harus merasa senang menjadi orang yang diutamakan olehnya? Aku sama. Sama saja seperti teman-teman wanitanya yang lain. Aku bukanlah seseorang yang special untuknya, bukanlah seseorang yang diutamakan olehnya. Harusnya aku sadari itu dari awal. Jika memang berat untuknya melepaskan, seperti apa yang telah ku lepaskan, ku biarkan hati ini memakan dirinya sendiri.
Semakin lama, aku semakin lelah untuk menghadapinya. Lidah ini terasa kaku untuk membahasnya. Mulut ini selalu bungkam untuk meminta pengertian darinya. Aku bukan Tuhan yang selalu sempurna, aku bukan malaikat yang tak pernah merasa iri, aku juga bukan nabi yang selalu adil. Aku “wanita” seorang manusia yang sudah ditakdirkan memiliki hati yang mudah luluh dan hancur. Silahkan saja jika ia ingin menertawakan semua kata-kata yang keluar dari hatiku, ku akui, aku hanya seorang “wanita” hatiku bisa sekuat baja, tapi tak lantas membuatnya selalu mendobrak hatiku dengan kasar. Sebuah baja bisa patah jika terus menerus ditempa, akan berkarat jika terus menerus dibiarkan, dan bisa menjadi tajam jika terus menerus diasah. Aku hanya takut hatiku menjadi tajam, yang akan menusuknya kemudian, aku hanya takut suatu saat aku tak mampu lagi membendung semuanya, membiarkan hatiku diasah oleh emosiku sendiri. Aku hanya takut, hatiku akan menjadi pedang diantara kita.
Aku memang pernah berkata kepadanya “aku tak ingin membatasimu” tapi bukan berarti ia bisa leluasa tanpa batas bukan? Sama saja ia mengabaikanku, ia tak memperdulikan kepercayaanku, aku memang tak akan membatasinya, tapi jika ia sudah diluar batas, haruskah aku diam membiarkannya tersesat? Atau harus kutarik agar ia tak melewati batas?
Masih tentang masa lalu. Jika memang ia telah berdamai dengan masa lalunya, kenapa ia harus takut untuk menceritakannya padaku? Pertanyaan menusuk yang seharusnya dapat ia patahkan untuk membuatku tenang, justru ia membuatnya mengambang, seperti burung yang keluar dari sarangnya namun tak tahu kapan harus berhenti. Ada apa dengan masa lalunya? Adakah sesuatu yang belum aku ketahui tentangnya? Adakah ia bersembunyi dibalik tirai masa lalunya?
Sungguh aku tak pernah mengerti dirinya, apakah aku terlalu menutup diri? Apakah aku membatasi diriku padanya? Apa memang aku yang tak pernah ingin mengenal dirinya? Ia kekasihku, tapi aku seperti teman baru dihadapannya. Aku hanya ingin merasa diriku special untuknya, diriku penting untuknya, dan aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi yang pertama.

Aku terlalu banyak bercerita, adakah kau bosan mendengarku? Maaf jika selalu tentang dia yang ku bawa kepadamu, aku tak punya topik pembicaraan lain selain tentangnya. Jika kau bisa membantu, aku hanya meminta satu. Bantu aku untuk menopang hatiku J
Seorang juara maratonpun pasti akan merasa lelah juga, bukan? Ia yang dinomor satukan karena keahliannya berlari, tapi jelas ia akan pucat ketika selesai bertanding.
Aku membawanya pergi menjauh karena ia yang memintaku, dan mungkin itu harus menjadi keahlianku, membawanya pergi dari masa lalunya, tapi pertandingan belum berakhir, wajahku sudah pucat, lalu bagaimana?
Adakah ia ingat kisahku dahulu, bersama sahabat karibku, sahabat lelaki karibku. Kita berdua bahagia, sama seperti dirinya. Kami sudah memiliki pelengkap hati. Tapi tahukah ia, tetap saja semua itu semu, semuanya tak sesuai rencana. Adakah ia paham?
Akupun tak pernah tahu, apakah aku masih mempercayainya atau tidak. Bagaimana pendapatmu? Temanilah aku saat aku kehilangan arah, kuatkan aku saat aku mulai lemah, bantu aku berdiri saat tubuh ini terjerembap jatuh.
Temani aku di ramai dan sepiku, sayangi aku disehat dan sakitku, rindukan aku didekat dan jauhku, cintai aku dibaik dan burukku.
Aku hanya seorang yang mampu mengungkapkan setiap rasa pada sebuah tulisan, diamku adalah tulisanku. Ia akan tahu hanya dengan lewat tulisanku, karena aku bukanlah seseorang yang pandai mengungkap lewat lisan.

Untukmu yang kuyakini menjadi seseorang yang mampu membuatku merasa jatuh cinta disetiap waktu
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Description

Seorang istri, anak, kakak, adik, dan pendidik.

About Me

Foto saya
Perempuan biasa yang tak pandai bicara

Friendship

Pageviews

About

Untaian kata yang tak pernah henti terurai. Huruf-huruf yang tersedak di tenggorokan, menutup muka untuk keluar. Semakin dalam, semakin sulit diungkapkan. Lewat tulisan aku menyapamu, lewat tulisan aku bercerita dan lewat tulisan aku mengenalmu.