Malam ini aku kembali lagi dengan segudang cerita
risauku tentangnya. Maaf jika kau lelah untuk mendengarnya, aku hanya ingin
berbagi, agar pundakku tidak begitu berat mengangkatnya.
Berawal tanpa cinta, tanpa rasa, tapi aku
berusaha untuk menumbuhkannya, dan aku sudah jujur padanya bahwa aku
menerimanya tanpa rasa, tapi rasa itu tumbuh seiring berjalannya waktu, ia
membantuku untuk menumbuhkan rasa itu. Hingga akhirnya ia juga berkata jujur,
memintaku untuk membantunya bangkit dari masa lalunya, aku tak pernah peduli
tentang masa lalunya, bukan aku egois tak mau menerima masa lalunya, tapi itu
hanyalah masa lalu yang telah ia lewati, aku tak punya urusan dengan masa
lalunya, seburuk apapun, sesulit apapun masa lalunya dengan yang lain, aku tak
pernah mempedulikan. Karna aku adalah hari ini, esok dan seterusnya untuknya.
Masa lalu hanyalah masalah kemarin yang tak akan pernah kembali lagi.
Pelan-pelan, kami sudah berdamai dengan masa lalu
kami masing-masing dan mulai menjalani “kita” yang masa kini. Aku senang, aku
bahagia memilikinya. Jujur, yang aku rasakan adalah ia sangat peduli dan sayang
padaku, mungkin rasanya lebih besar dari yang aku miliki, tapi mungkinkah
kepercayaannya melebihi kepercayaanku? Hanya ia dan Tuhan yang tahu jawaban
pastinya.
Tepat setahun sudah kami lalui bersama, semuanya
mulai terungkap perlahan-lahan. Aku mulai bisa menerima sisi buruk dirinya, dan
begitu juga dia seharusnya. Karena sebuah hubungan itu adalah tentang dua insan
yang saling memendam rasa untuk kemudian diungkapkan dengan caranya
masing-masing. Lantas jika hanya seorang yang memendam rasa untuk diungkapkan,
apakah itu masih bisa dikatakan cinta?
Aku memang pernah memiliki sahabat baik lawan
jenis, sangat dekat, sangat akrab, sampai-sampai semua orang mengira kami
adalah sepasang kekasih. Tapi kedekatan itu tak lagi berlaku, ketika aku
memilihnya. Aku meyakini hatiku, aku memilihnya bukan untuk mengecewakannya
apalagi untuk menduakannya. Tak ada lagi teman dekat lawan jenis yang menghiasi
petualangan ku di dunia, tiada lagi kata-kata manis dari teman akrab lawan
jenis yang ku terima. Karena aku bersamanya, cukup bagiku mendengar semua
perkataannya meski tak semuanya manis, cukup bagiku pergi bersamanya meski tak
selalu tahu tujuan, cukup bagiku menggandeng tangannya meski kadang tak selalu
diterima dengan baik. Bukan aku kekanak-kanakan, aku hanya merasa nyaman,
bersamanya, aku merasa kenyamanan seperti halnya aku merasa nyaman ketika
berada disamping seorang lelaki yang sangat aku cintai didunia ini, Ayahku.
Mungkin alasan “cinta” itu juga yang membuatku merasa nyaman berada dekat
dengannya.
Aku percaya sepenuhnya, ia takkan pernah berani
untuk melukaiku, meski terkadang ucapannya sangat mengiris hati, perlakuannya
hingga tak sampai hati aku untuk melihatnya. Tapi aku sungguh percaya, hanya
dengan kata-katanya “aku sayang kamu” sudah cukup membuatku percaya seutuhnya.
Namun sepertinya Tuhan memberi sedikit pelajaran
untukku, agar tak mudah mempercayai seseorang, sekalipun itu adalah orang yang
paling kita cintai. Aku berusaha menjaga hatiku, menahan semua emosi bahagia
untuk teman akrab lawan jenisku. Selama ini aku merasa “aku bangga menjadi
kekasihmu, aku bahagia memilikimu” selalu ada seseorang yang mampu ku andalkan
saat tak ada lagi cara untuk berdalih, selalu ada seseorang yang mempercayaiku
saat semua orang melihatku sebagai pengkhianat, selalu ada seseorang yang
menyayangiku tulus disaat semuanya mencibir dibelakangku. Tapi entah kenapa
rasa seperti itu bisa lenyap dalam satu waktu. Cukup singkat, dalam sekejap,
semua sirna.
Saat ia tak lagi mempercayaiku untuk memberi
kabar, saat ia bisa pergi dengan seenaknya tanpa sepengetahuanku, saat ia bisa
bermesraan dengan yang lain dibelakangku. Jujur saja, memang aku bukanlah
wanita yang terlalu peduli dengan masalah kehidupan, aku biarkan saja semuanya
berjalan seperti adanya, akankah ia memberitahuku? Sampai akhirnya tetap tidak.
Jika ia mudah mengumbar kata sayang kepada setiap
wanita, lalu dimana aku harus merasa special untuk menjadi kekasihnya? Jika ia
mudah membawa setiap wanita pergi dengannya, lalu dimana aku harus merasa
bangga memiliki seseorang yang mampu ku andalkan? Jika ia tak pernah sempat
memberiku kabar, memberitahu “jadwal kehidupannya” kepadaku, lantas dimana aku
harus merasa senang menjadi orang yang diutamakan olehnya? Aku sama. Sama saja
seperti teman-teman wanitanya yang lain. Aku bukanlah seseorang yang special
untuknya, bukanlah seseorang yang diutamakan olehnya. Harusnya aku sadari itu
dari awal. Jika memang berat untuknya melepaskan, seperti apa yang telah ku
lepaskan, ku biarkan hati ini memakan dirinya sendiri.
Semakin lama, aku semakin lelah untuk
menghadapinya. Lidah ini terasa kaku untuk membahasnya. Mulut ini selalu
bungkam untuk meminta pengertian darinya. Aku bukan Tuhan yang selalu sempurna,
aku bukan malaikat yang tak pernah merasa iri, aku juga bukan nabi yang selalu
adil. Aku “wanita” seorang manusia yang sudah ditakdirkan memiliki hati yang
mudah luluh dan hancur. Silahkan saja jika ia ingin menertawakan semua
kata-kata yang keluar dari hatiku, ku akui, aku hanya seorang “wanita” hatiku
bisa sekuat baja, tapi tak lantas membuatnya selalu mendobrak hatiku dengan
kasar. Sebuah baja bisa patah jika terus menerus ditempa, akan berkarat jika
terus menerus dibiarkan, dan bisa menjadi tajam jika terus menerus diasah. Aku
hanya takut hatiku menjadi tajam, yang akan menusuknya kemudian, aku hanya
takut suatu saat aku tak mampu lagi membendung semuanya, membiarkan hatiku
diasah oleh emosiku sendiri. Aku hanya takut, hatiku akan menjadi pedang
diantara kita.
Aku memang pernah berkata kepadanya “aku tak
ingin membatasimu” tapi bukan berarti ia bisa leluasa tanpa batas bukan? Sama
saja ia mengabaikanku, ia tak memperdulikan kepercayaanku, aku memang tak akan
membatasinya, tapi jika ia sudah diluar batas, haruskah aku diam membiarkannya
tersesat? Atau harus kutarik agar ia tak melewati batas?
Masih tentang masa lalu. Jika memang ia telah
berdamai dengan masa lalunya, kenapa ia harus takut untuk menceritakannya
padaku? Pertanyaan menusuk yang seharusnya dapat ia patahkan untuk membuatku
tenang, justru ia membuatnya mengambang, seperti burung yang keluar dari
sarangnya namun tak tahu kapan harus berhenti. Ada apa dengan masa lalunya?
Adakah sesuatu yang belum aku ketahui tentangnya? Adakah ia bersembunyi dibalik
tirai masa lalunya?
Sungguh aku tak pernah mengerti dirinya, apakah
aku terlalu menutup diri? Apakah aku membatasi diriku padanya? Apa memang aku
yang tak pernah ingin mengenal dirinya? Ia kekasihku, tapi aku seperti teman
baru dihadapannya. Aku hanya ingin merasa diriku special untuknya, diriku
penting untuknya, dan aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi yang
pertama.
Aku terlalu banyak bercerita, adakah kau bosan
mendengarku? Maaf jika selalu tentang dia yang ku bawa kepadamu, aku tak punya
topik pembicaraan lain selain tentangnya. Jika kau bisa membantu, aku hanya
meminta satu. Bantu aku untuk menopang hatiku J
Seorang juara maratonpun pasti akan merasa lelah
juga, bukan? Ia yang dinomor satukan karena keahliannya berlari, tapi jelas ia
akan pucat ketika selesai bertanding.
Aku membawanya pergi menjauh karena ia yang
memintaku, dan mungkin itu harus menjadi keahlianku, membawanya pergi dari masa
lalunya, tapi pertandingan belum berakhir, wajahku sudah pucat, lalu bagaimana?
Adakah ia ingat kisahku dahulu, bersama sahabat
karibku, sahabat lelaki karibku. Kita berdua bahagia, sama seperti dirinya.
Kami sudah memiliki pelengkap hati. Tapi tahukah ia, tetap saja semua itu semu,
semuanya tak sesuai rencana. Adakah ia paham?
Akupun tak pernah tahu, apakah aku masih
mempercayainya atau tidak. Bagaimana pendapatmu? Temanilah aku saat aku
kehilangan arah, kuatkan aku saat aku mulai lemah, bantu aku berdiri saat tubuh
ini terjerembap jatuh.
Temani aku di ramai dan sepiku, sayangi aku
disehat dan sakitku, rindukan aku didekat dan jauhku, cintai aku dibaik dan
burukku.
Aku hanya seorang yang mampu mengungkapkan setiap
rasa pada sebuah tulisan, diamku adalah tulisanku. Ia akan tahu hanya dengan
lewat tulisanku, karena aku bukanlah seseorang yang pandai mengungkap lewat
lisan.
Untukmu yang kuyakini menjadi seseorang yang
mampu membuatku merasa jatuh cinta disetiap waktu