Hai, kamu yang jauh disana, apa kabar?
Sedang apa kau sekarang? Aku ingin melihatmu, sekali saja ingin ku ulang
memandangi wajahmu, berdiam pada satu pasang mata yang menghangatkan. Aku ingin
kau menggenggam jemariku lagi, aku ingin kita bermain bersama lagi di depan
teras rumahku, seperti dulu ataupun sekedar bersepeda ria mengitari jalanan
desa.
Masih ingatkah kau padaku, kawan? Saat kita
berdua tak risau bersenda gurau, tak perduli cemoohan manusia-manusia yang tak
tahu apa-apa. Sedekat itukah kita, dulu? Tanpa batas kita bersenda gurau,
berteriak hebat sampai menjadi pusat perhatian, berjalan bergandengan tangan
diantara kelebatan bayangan ganas. Rindukah kau untuk mengulangnya lagi
bersamaku?
Entah harus berapa puisi lagi yang harus ku
tuliskan karenamu, segala yang terpikirkan olehku, selalu berujung padamu. Aku
sudah kehabisan akal untuk membayangkan tentangmu, khayalku tak sampai jika
mengharapkan kehadiranmu lagi disisiku, aku merindukanmu kawan, sangat
merindukanmu.
Kawan, ingatkah kau dulu selalu meraih tanganku
saat wajahku tertunduk pilu? Kau selalu tertawa meskipun saat candaanku tak bermutu.
Kau tak pernah dengarkan mereka yang menghakimi kita, kau tak pernah risaukan
merekan yang mencelamu karena dekat denganku. Bagaimana bisa, setelah itu
semua, aku masih tak mau mengakui bahwa aku tak merindukanmu?
Setelah bel pulang berdering, kau selalu berlari
ke arahku, dengan wajah sumringah sembari menggendong tas ranselmu yang besar,
kau mengajakku untuk pulang bersama dengan menggunakan sepeda. Bukan, bukan
kita menaiki sepeda yang sama, kita mengendarai sepeda yang berbeda. Setelah
keluar dari persembunyian sekolah, aku menyebrang jalan. Sepanjang jalan yang
kita tempuh, jarak jalanan yang ramai menghalangi kita untuk berdekatan, selama
itu pula kita berteriak berbalas ucapan. Ya ampun, tak adakah rasa malu pada
kita berdua? berteriak di tepian jalan sembari tertawa lepas, ah aku tak tahan
mengingatnya. Ingatkah kau akan hal itu?
Hingga akhirnya hari itupun tiba. Kita tertawa
dan menangis seperti yang lainnya. Kita tertawa, karena bisa mengakhiri
masa-masa sekolah ini dengan baik. Tapi, kita menangis, bukan menangis bahagia
karena mendapat nilai besar, bukan pula karena bahagia dipuji sebagai anak yang
pintar, dan bukan juga bahagia karena melihat raut wajah orangtua yang sangat
mengesankan terlihat bangga. Tapi karena perpisahan, karena kita akan
menghadapi sebuah perpisahan yang entah kapan berakhir. Memang waktu kita hanya
sebentar, kita bertemu dan bersama hanya dalam jangka waktu 1 tahun, tapi 1
tahun sudahlah cukup membuatmu berharga untukku. Ada hal lain yang
mengharuskanmu pergi meninggalkanku, jauh, sangat jauh kau melangkah, tanpa
menoleh tanpa berpamit, kau pergi begitu saja.
Kini, 9 tahun setelah kepergianmu, aku masih tak
bisa melupakanmu. Apa kau tak rela untuk ku lupakan? Apa kau tak sanggup jika
harus ku lupakan? Aku ingin melupakanmu, seperti kau melupakanku. Tapi kenapa
aku tak pernah bisa? Semua kenangan itu selalu melekat dalam anganku. Ayolah,
biarkan aku melupakanmu, aku sudah cukup berbaik hati padamu untuk
mempersilahkanmu melupakanku, kenapa kau tidak? Apakah kau terlalu pengecut
untuk menjadi "yang terlupakan" ? Sampai hari ini, aku masih berusaha
untuk melupakan dan melepaskanmu, kawan.
Semoga kau selalu baik-baik saja....
Sahabat
yang merindukanmu
- H. A -
- H. A -