Cerita, Cinta, dan Kita

Rabu, 16 Maret 2016

Hujan untuk Senja

Created by Hariyatunnisa Ahmad
Prolog

            Jam dinding menunjukkan pukul 17.30, Reina mengelus perutnya manja sembari menatap langit di taman belakang rumah. “Senja ini cantik sekali, semoga kau juga akan secantik senja ini dan meneduhkan seperti jingganya” ujar Reina lembut. Tiba-tiba guntur datang saling bersahutan, bulir-bulir hujan mulai turun bergantian membasahi tubuh Reina. “Rei, masuklah. Jangan sampai kau kehujanan” teriak Endi, suami Reina.
            Lama mereka bercengkrama di depan televisi yang mempertontonkan acara komedi, jari-jemari yang menyatu diantara dua tubuh sepasang suami istri itu semakin erat merangkul satu sama lain. Jemari Reina semakin erat menggenggam Endi, mulutnya sedikit mengeluarkan suara rintihan menahan rasa sakit. “Kau kenapa?” tanya Endi. Reina tak menjawab, ia hanya meringis dan memegangi perutnya yang terasa sangat mulas.
            “Ya Tuhan! Jangan-jangan kau....” Endi memotong kata-katanya sendiri, dengan secepat kilat ia mengambil kunci mobil yang bertengger di dinding kamarnya. Dengan susah payah Endi mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya, tubuhnya gemetaran, ia takut dan juga gugup. Endi membawa Reina ke dalam mobil dan mengantarnya ke rumah sakit terdekat.
            Sampai di ruang persalinan, Reina semakin merintih kesakitan. Endi tak sanggup melihat Reina menahan rasa sakitnya sendirian. Peluh bercucuran menghiasi  wajah cantik Reina. Diluar sana, hujan semakin deras menjatuhi tanah, gemuruh bersahutan tak memberi jeda. Wajah Endi terlihat pucat, wajah Reina lebih pucat. Semuanya menunggu akan kehadiran buah hati yang ditunggu-tunggu selama ini, buah cinta Reina dan Endi yang pertama.
            Menurut dokter, janin yang ada dalam kandungan Reina adalah seorang putri cantik nan jelita. Ya, jenis kelaminnya perempuan. “En...di...” lirih suara Reina memanggil Endi yang berdiri di sampingnya, menemaninya sedari tadi. “Iya sayang. Sedikit lagi, kau pasti bisa. Putri jelita ingin melihat wajah cantik yang melahirkannya” ucap Endi dengan tenang meski terlihat raut wajahnya menggambarkan ketakutan.
            Mata Reina mulai sayup-sayup, air mata dan peluh sudah menjadi satu di wajahnya. Tepat pukul 18.01 pada tanggal 13 Agustus, saat lembayung senja menghiasi pekatnya pergantian waku dan hujan menemani persalinan Reina. Gemuruhnya sudah tak lagi terdengar, yang terdengar adalah suara tangisan bayi kecil yang sangat cantik. Mata Reina berbinar-binar, ia bahagia, sangat bahagia. “Endi...” panggil Reina dengan senyum lebar, “iya sayang. Terima kasih, terima kasih atas perjuanganmu untuk putri kecil kita”.
            “Senjani Rinai Kirana” ucap Endi yang disusul ciuman hangat di kedua pipi putri kecilnya. Reina hanya mengangguk bahagia, keduanya meneteskan air mata bahagia. “Putri kecil kita yang tangguh, yang lahir di waktu senja saat hujan turun” mata Endi tak pernah lepas dari bayi mungil yang kini ada di tangannya.
            Ditaruhnya bayi mungil nan cantik itu di atas tubuh Reina, Reina menangis bahagia. Ia mengelus lembut kepala putrinya yang baru ditumbuhi beberapa helai rambut, lalu ia mencium puncak kepala putrinya. “Senja...” panggilnya lirih.

***


#1
Hujan ke-999

            Perkenalkan namaku Senjani Rinai Kirana. Menurut orang tuaku, aku adalah putri satu-satunya yang sangat cantik yang menghiasi keluarga ini. Aku dilahirkan di waktu senja, saat itu hujan turun deras, namun saat kelahiranku hanya tinggal rintik-rintiknya yang terdengar. Aku senang memiliki nama yang indah. Kedua orang tuaku memanggilku Senja, katanya supaya mengingatkan mereka akan kelahiranku 24 tahun silam.
Hari ini adalah rintik hujan yang kesekian yang ku nikmati kehadirannya. Setelah lama ku nantikan hujan, akhirnya aku bisa menapakkan kaki di lantai rumah, dan kini cuaca berpihak padaku. Namun, ada yang berbeda pada rintik hujan kali ini. Ada satu keluarga besar yang entah darimana asalnya, entah mengetahui rumahku darimana, mereka datang dengan membawa bingkisan-bingkisan kecil. Aku tak keluar dari kamarku, aku masih mengunci pintu kamarku.
Aku tak mendengar pembicaraan keluargaku dengan keluarga lain yang datang ke rumahku. Tak lama, aku mendengar suara derap langkah mendekati kamarku. Tok tok tok, “Senja...” panggil Endi pada putri manisnya yang kini sudah beranjak dewasa. “Ya, Ayah” sahutku dari dalam kamar. “Ada seseorang yang ingin mengenalmu, kau tak perlu keluar kamar jika kau nyaman di dalam sana”, kemudian aku mendengar suara deritan kursi yang digeser tepat di depan pintu kamarku, “silahkan” suara Ayah pada seseorang yang katanya ingin mengenalku.
“Assalamualaikum” terdengar suara pemuda dari balik pintu kamarku, “waalaikumsalam” jawabku tenang, jantungku berdebar-debar, siapa dia? Tanyaku dalam hati. “Perkenalkan, aku Putra Adikia. Kau bisa memanggilku Putra. Siapa namamu?” aku terdiam lama, berusaha mengingat sesuatu ketika mendengar suara pemuda itu. “Ekhm...” pemuda itu berdeham membuat lamunanku buyar, “maaf, namaku Senjani Rinai Kirana. Kau bisa memanggilku Senja”. “Senja... bagaimana kalau ku panggil kau Rinai? Apa kau keberatan?” tanyanya dari seberang pintu, “tidak” aku menggeleng pelan. Percakapan panjang terjadi antara diriku dengan pemuda yang katanya bernama Putra. Percakapan panjang itu disaksikan oleh pintu kamarku yang menghalangi kami berdua, dan juga ada ayahku yang berdiri tak jauh dari pemuda itu.
Saat hujan reda dan awan kembali membuka celah biru di langit sore, Putra dan juga keluarganya pamit untuk pulang. Aku masih terdiam dalam kamarku yang nyaman. Aku seperti merasakan deja vu saat mendengarkan suara Putra, sepertinya aku pernah berbicara dengannya, tapi dimana? Teman-temanku kebanyakan perempuan, aku tak pernah bisa dekat dengan laki-laki, jangankan untuk bicara dengan laki-laki, menatap wajah laki-laki pun bisa ku hitung dengan jari. “Ah, siapa dia sebenarnya.” Lirihku di sela-sela lamunanku.
“Senja, keluar sayang. Mereka sudah pulang.” Suara ibu begitu lembut di telingaku, “iya, bu”. Ayah dan Ibuku sudah duduk di sofa ruang tamu, aku ikut duduk mensejajari kedua orang tuaku. “Senja putri ku sayang, tadi ada seorang pemuda yang membawa keluarganya kemari. Ia ingin lebih mengenalmu, ia ingin menjadikanmu sebagai pasangan hidupnya. Setelah tadi kau berbicara dengannya, apakah kau setuju dengan lamaran pemuda itu?” penjabaran Ayah membuatku tercengang sesaat, “lamaran? Berarti menikah?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku, “iya sayang. Tak perlu cepat-cepat untuk menjawab. Buatlah pilihan sesuai hatimu. Istikharah” kepalaku di usap lembut oleh ibu.
Empat hari setelah itu, aku berbicara lagi dengan kedua orang tua ku. “Ayah, Ibu, aku sudah memikirkannya dengan baik dan insha Allah pilihanku sudah matang. Bismillahirrahmanirrahim, aku setuju dengan lamaran pemuda itu, aku menerima pemuda itu untuk menjadi teman hidupku.” Rasanya itu adalah kata-kata terpanjang yang pernah aku lontarkan pada kedua orang tuaku. “Alhamdulillah...” ucap mereka bersamaan.
a

Dua hari setelah aku memberikan jawaban, Putra dan juga keluarganya datang kembali ke rumahku. Saat itu aku ikut keluar dan menyambut kedatangan keluarganya. Aku melihat ada sembilan orang, sepuluh bersama Putra. Ayahnya memperkenalkan anggota keluarganya satu persatu. Yang pertama, Ibunda Putra yang berperawakan besar namun terlihat anggun dan cantik. Ayahnya tinggi seperti Putra, kulitnya kecokelatan dan masih terlihat muda. Dan Putra... dia tampan. Hanya itu yang bisa aku deskripsikan tentang Putra. Tubuhnya tinggi meskipun tak begitu tegap, kulitnya putih kecokelatan namun tetap bersih, hidungnya yang terlihat lancip, matanya berwarna hijau pirene, begitu meneduhkan saat dipandang. Mereka datang bersama Paman, Bibi, kedua keponakan Putra dan juga Kakek dan Nenek Putra.
Kami saling bertatapan, aku sampai lupa bahwa aku tak boleh berlama-lama memandang laki-laki, langsung ku alihkan pandanganku pada Ibunda Putra. Kedua keluarga berbicara dengan serius namun tetap hangat. Saat Ayahku menjawab lamaran Putra padaku, ku lihat ada rona bahagia yang terpancar dari sudut matanya, bibirnya tertarik membuat senyumnya mengembang dengan sempurna. “Alhamdulillah...” ucap mereka serentak. Ya Tuhan, aku baner-benar jatuh cinta saat ini.
Tanggal pernikahan segera kami putuskan, dengan matang kami setuju akan saran tanggal pernikahan dari kedua orang tuaku dan juga kedua orang tua Putra. Ayahku bersalaman dengan ayah Putra dan ibuku berpelukan dengan ibunda Putra. Rasanya sangat bahagia melihat pemandangan seperti ini. Setelah melihat ayah dan ibuku, pandanganku tertuju pada Putra yang sudah menatapku lebih dulu, aku jadi salah tingkah dan langsung mengalihkan pandanganku, dan aku yakin saat itu wajahku sudah merona merah seperti kepiting rebus karena malu.

a

            Pernikahan akan dilaksanakan satu minggu lagi. Mulai dari sekarang aku mulai merawat tubuhku dengan baik dan juga menjaga kesehatanku dengan baik. “Tak perlu menyewa rias pengantin, biar ibu sendiri yang akan meriasmu besok saat pernikahanmu” ucap ibu dengan binar bahagia di matanya. Aku hanya mengangguk, aku yakin hasil riasan ibu tidak akan kalah dengan jasa rias pengantin lainnya, karena seorang ibu pasti ingin yang terbaik untuk anaknya bukan?
            Selama satu minggu ini aku tak pernah bertemu dengan Putra, berhubungan lewat ponsel pun tidak, karena kami tidak saling menukar nomor handphone. Biarkan saja kami bertemu di altar pernikahan nanti. Pasti rindu itu akan tersalurkan dengan baik saat nanti ijab qabul sudah dikatakannya di depan ayahku. Aku sungguh tidak sabar, setiap hari selama menunggu hari pernikahanku, jantungku tak pernah mau berdetak dengan normal, selalu saja lebih cepat dari biasanya, bahkan dari siapapun di rumah ini.
            Akhirnya hari yang di tunggu-tunggu tiba. Hari ini 9 september adalah hari pernikahanku dengan Putra, pagi-pagi sekali aku sudah bangun, aku gugup, sangat gugup. “Tenanglah nak, ibu tahu bagaimana rasanya. Jangan uring-uringan begitu” nasehat ibuku membuatku berhenti mondar-mandir di dalam kamar, aku menghirup dan menghela napasku dengan tenang.
            Setelah selesai merias wajahku dan juga mengenakan gaun pengantin padaku, ibuku pergi keluar untuk menyaksikan ijab qabul yang akan di ucapkan oleh Putra, sedangkan aku masih duduk manis di atas ranjang kamarku. Setelah ijab qabul selesai di ucapkan, mereka berdoa bersama, setelah itu ibu menjemputku di kamar, ia menuntunku keluar untuk menemui suamiku. Ya, hari ini statusku sudah berubah menjadi istri Putra Adikia.
            Senyum mengembang di wajahku dan juga wajah Putra, mata kami bertemu. Putra menyentuhku dan untuk pertama kalinya aku disentuh oleh seorang laki-laki, suamiku. Ia menggenggam tanganku, mengenakan sebuah cincin emas dengan bentuk lengkung yang indah di tengahnya, ia menyematkan cincin di jariku tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku, aku dibuat salah tingkah oleh tatapannya. Aku mencium punggung tangannya, ia mencium puncak kepalaku, lama, sangat lama dan ku lihat air mata mengalir di pipinya.
            Ya, hari ini aku resmi menjadi istrinya. Aku selalu memegang lengan Putra, sepertinya aku tak ingin melepasnya. “Istriku..aku mencintaimu” ucap Putra tepat di telingaku, entah apakah ada yang mendengar ataupun tidak, aku membalasnya “aku pun sama, mencintaimu, suamiku”.
            Senja datang, tamu-tamu sudah tak lagi berdatangan karena kami memang membatasi jam undangan meskipun resepsi pernikahan dilaksanakan di rumahku. Aku dan Putra kini ada di dalam kamarku, kami masih saling diam dan hanya tatapan mata kami yang berbicara. Setelah membersihkan diri dan membereskan isi rumah, kami duduk berdampingan di tepi ranjang. “Kenapa kau menyetujui lamaranku?” tanya Putra tiba-tiba, “aku hanya mengikuti kata hatiku. Hatiku memilihmu” jawabku seadanya. Putra membalikkan badannya padaku, ia mencium keningku dan kemudian memelukku dengan erat. Ah, rasanya nyaman sekali.
            “Dari mana kau bisa mengetahui ku? Bukankah kita bahkan tak saling mengenal? Bertemu pun rasanya belum pernah” kini aku yang balik bertanya padanya, “aku meminta bantuan pada guru ku saat aku SMA, dan ia mengenalkan ku pada keluargamu. Aku yakin guru ku tak akan membohongiku, ia pasti akan memberikan yang terbaik untuk muridnya, bukan?” Ya, meskipun kami tak saling mengenal, bertemu pun belum pernah, tapi malam ini rasanya aku sangat jatuh cinta padanya, rasanya aku sudah sangat mengenalnya. Dia suamiku, Putra Adikia.
            Putra masih memelukku dengan erat, “terimakasih Rinai, istriku” lagi-lagi ia mengecup keningku, membuatku merasa nyaman, sangat nyaman. “Aku suka pada namamu” pernyataan Putra membuatku mengangkat kepalaku, “hanya karena namaku?” tanyaku penasaran, “pada namamu saja aku suka, apa lagi denganmu, aku jatuh cinta bahkan tergila-gila padamu” jawaban Putra selalu membuatku melayang. Aku bahagia.
            Kami saling menceritakan keluarga kami masing-masing, menceritakan masa lalu yang sebenarnya tak penting untuk dibicarakan. Aku tak bisa menceritakan masa laluku tentang seseorang, karena memang aku baru pertama kali ini jatuh cinta dengan lelaki. Berbeda dengan Putra yang panjang lebar menceritakan masa lalunya, sudah ada beberapa perempuan yang pernah menghiasi kehidupan Putra, namun aku sungguh beruntung karena akulah yang terakhir untuknya.
            Dalam derasnya hujan kami bercengkrama dengan cerita-cerita tentang kehidupan kami, suara tawa selalu memenuhi ruang kamarku yang gelap, suara guntur yang saling bersahutan pun tak kami hiraukan. Mataku tak pernah bosan untuk menatap mata hijau pirenenya, sangat meneduhkan. Tanganku belum terlepas dari pinggangnya, masih melingkar dengan sempurna. Kenapa aku jadi semanja ini pikiran itu muncul saat lenganku tak pernah lepas dari pinggangnya, tak apalah aku tak peduli, yang penting aku bahagia. Putra bercerita dengan penuh ekspresi, membuatku semakin menyadari betapa tampannya suamiku.
            Malam ini aku tak lagi tidur sendirian, ada Putra, suamiku yang menemani tidurku. Saat ingin memejamkan mata, ku dengar rintikan hujan di luar sana. “Ah, hujan” ucapku tanpa sadar, “kau suka?” tanya Putra, “ya, aku sangat menyukai hujan. Ini adalah hujan ke 999 yang ku nikmati, karena saat kau datang melamarku itu adalah hujan yang ke 998 yang ku nikmati. Namun ini adalah hujan pertamaku, bersamamu.” Ucapku sambil mendekatkan tubuhku ke arah Putra dan memeluknya, aku tidur dengan posisi kepalaku di atas lengan Putra. Kami tidur dengan nyenyak malam ini.

***

#2
Tak Pernah Terduga

            Hari ini aku dan Putra pindah ke rumah milik Putra. Kami meninggalkan kedua orang tua kami, kami ingin belajar untuk hidup mandiri. Besok Putra sudah harus masuk kerja lagi, rasanya aku ingin sekali memperpanjang masa cuti Putra, agar waktu berdua bisa lebih lama lagi. Aku masih belum bekerja, karena Putra tak mengijinkanku untuk bekerja, katanya ia ingin aku mengurusi rumah tangga saja, dan tak perlu berlelah untuk membantu Putra, biarlah Putra bertanggung jawab untuk mencari nafkah, dan aku menjalankan tanggung jawabku sebagai istrinya.
            Kami tidak pindah jauh, bahkan masih dalam satu kota dengan kedua orang tua kami, hanya saja jarak rumah yang kami tempati dengan rumah orang tua ku berjarak sekitar 30 menit, sedangkan untuk menuju rumah kedua orang tua Putra harus menempuh waktu 45 menit. Hingga sore kami masih saja berkutat dengan aksesoris rumah yang belum tertata rapih, barang-barang pun belum semuanya tertata di tempatnya. Rasanya lelah sekali mengerjakan semua ini berdua, tapi meskipun lelah aku tetap bahagia karena bisa berdua dengan Putra.
            Setelah semua tertata dengan rapih dan membersihkan badan. Kami bersantai di depan televisi yang menayangkan acara kartun, padahal kami sudah sama-sama dewasa entah kenapa kartun tetap pilihan terbaik untuk ditonton. Aku duduk di sebelah Putra sambil menyenderkan kepalaku di dadanya, mendengar detak jantungnya yang seirama denganku, oh beginikah rasanya jatuh cinta. “Kenapa?” tanya Putra yang merasakan kepalaku tidak mau diam di dadanya, “tidak. Tidak apa-apa” jawabku dengan penuh senyuman tanpa menatap matanya.

a

            Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, menatap wajah pulas suamiku di sampingku adalah kegiatan rutinku setiap pagi, ku tatap lekat-lekat wajah yang ingin berlelah demi kebahagiaan diriku, ku usap pelan pipinya, “terima kasih telah memilihku dan menjadi suami ku” bisikku pelan pada telinganya. Aku terkejut ketika jemarinya bergerak begitu cepat menggenggam tanganku yang ada di pipinya, matanya terbuka dan menatapku intens, “sama-sama Rinai, istriku”. Cup kecupan manis dan singkat di bibirku berhasil membuatku terpaku, aku masih tak percaya ini adalah pertama kalinya bibirku di sentuh oleh bibir laki-laki, ya suamiku yang melakukannya. Lagi-lagi aku dibuat melayang olehnya.
            Sekarang aku punya kesibukan baru, sebelumnya setiap pagi hanya membantu ibu ke pasar dan memasak untuk ayah dan adik-adikku. Sekarang aku harus memasak untuk suamiku tercinta, menyiapkan segala keperluannya, mulai dari pakaiannya, sepatunya, hingga isi tas kerjanya. Ponselnya pun aku yang men-charge jika baterainya habis. Kesibukan yang membuatku bahagia. “Rin, kaus kaki ku dimana?” teriak Putra dari dalam kamar, “aku taruh di atas sepatumu, sepatumu ada di depan” jawabku balik teriak karena memang jarak dari dapur ke kamar lumayan jauh, jika hanya mengeluarkan suara sekedarnya, tidak akan terdengar.
            “Sarapan sudah siap!” seruku dengan senang sembari menata piring yang berisi makanan di meja makan. Putra sedikit berlari menghampiriku, ia memelukku dari belakang dan mencium pipi kiri ku, “terima kasih”. Kami sarapan bersama tanpa suara, Putra memang bukan tipe orang yang suka berbicara saat sedang makan, hal itu aku tahu dari ibu mertuaku. Setelah selesai sarapan, dan membersihkan meja dan juga piringnya, aku membantu Putra memakaikan sepatu kerjanya, “jam berapa biasanya kau pulang dari kantor?”, “sekitar jam 4 sore” jawabnya singkat.
            Sebelum Putra berangkat kerja, aku mencium punggung tangan kanannya dan Putra mencium keningku singkat. Aku menatap kepergian Putra sampai mobilnya melewati pintu gerbang. Aku menghela napas berat, di rumah sebesar ini aku sendiri dan tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tengah, tanganku mulai membuka-buka buku resep berbagai macam masakan, “Ya ampun, aku lupa untuk menanyakan apa makanan kesukaannya” gerutu ku karena tak sempat bertanya hal itu, padahal aku ingin memasak makanan kesukannya ketika ia pulang nanti. Baiklah untuk besok saja.
            Sudah pukul 3 sore, sebentar lagi Putra pulang. Aku harus memasak makanan untuknya, tapi saat ku lihat isi kulkas hanya ada telur dan sedikit sayuran, “aku lupa berbelanja. Kemarin belum sempat berbelanja”. Aku berniat untuk keluar berbelanja sebentar, ku raih ponselku untuk menghubungi Putra, aku hanya tak ingin saat ia pulang, aku tak ada di rumah tanpa menghubunginya terlebih dahulu. Ya ampun, bahkan aku lupa belum menyimpan nomor ponselnya. Padahal sudah satu satu minggu kami menikah tapi aku belum dapat nomor ponselnya, tinggal satu rumah tapi tak tahu nomor ponsel, payah sekali aku. Jadilah aku menunggu sebentar sampai Putra pulang, agar aku bisa meminta ijin padanya untuk berbelanja sebentar.
            Tak perlu lama menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang. “Assalamualaikum” ku lihat wajah Putra ketika pintu mulai terbuka, “waalaikumsalam” jawabku ramah. Aku membantunya membuka sepatunya, dan mengambil alih tasnya. Aku biarkan ia beristirahat sebentar dan membersihkan tubuhnya. “Sayang, aku ingin keluar berbelanja sebentar, tidak apa-apa kan?” aku meminta ijin suamiku sebelum berangkat pergi, “biar ku temani” pernyataan Putra tak bisa aku bantah, meskipun aku agak keberatan karena aku kasihan pada Putra yang masih lelah, apalagi ia baru saja pulang kerja.
            Aku menikmati saat berbelanja dengan suamiku, ini pertama kalinya untukku berjalan-jalan dengan laki-laki, tanganku tak pernah lepas bergelayut pada lengan Putra, sesekali aku melepaskan tanganku, lengan besar Putra merangkul pinggangku dengan erat. Ah, rasanya pengantin baru yang selalu jatuh cinta setiap hari, menyenangkan. Niat awalku hanya berbelanja sayuran dan lauk untuk bahan masakan, tapi semua di luar dugaan, aku malah berbelanja macam-macam, itu pun karena Putra yang mengingatkan dan mengajakku untuk berbelanja kebutuhan lainnya.
            Akhirnya sampai di rumah pukul 7 malam. Aku langsung menata dan merapihkan barang-barang yang baru saja dibeli, sedangkan Putra menghempaskan tubuhnya di sofa depan televisi. Setelah selesai merapihkan barang-barang, Putra mengajakku untuk tidur, karena hari sudah malam dan ia sangat lelah.
            Aku berbaring di samping Putra, ia mengecup bibirku lagi. Tak lama ia sudah tertidur pulas. Entah kenapa aku merasa gelisah, aku tidak bisa memejamkan mataku. Aku terduduk di atas ranjang, menghela napas pelan, ku pejamkan mata, mengingat-ingat adakah hal yang mengganjal sehingga aku sulit tidur. Lama ku pejamkan mata, oh ya! Aku baru ingat, aku belum meminta nomor handphone suamiku. Sudahlah esok akan ku tanyakan. Lagipula esok adalah hari libur, jadi Putra tidak akan pergi kerja, ia akan ada di rumah menemani ku sepanjang hari. Aku kembali berbaring dan memejamkan mata, akhirnya aku bisa menyusul Putra ke dunia mimpi.
           
a

            Di sepertiga malam Putra membangunkan ku, kami melakukan kebiasaan yang sudah menjadi hal rutin di setiap sepertiga malam, menghadap Yang Kuasa. Biasanya aku melakukannya sendirian, tapi kali ini aku melakukannya bersama dengan suamiku. Terima kasih, Tuhan karena Kau telah memberikan Putra untukku. Setelah beribadah, Putra kembali tertidur dengan lelap, sedangkan aku mulai menjalankan tanggung jawabku, aku mulai membersihkan dan juga merapihkan seisi rumah. Setelah itu aku mencuci pakaian dan menyiapkan untuk sarapan nanti.
            Kami melahap makanan yang ada di meja dengan tenang sampai habis. Setelah selesai membersihkan meja beserta piringnya, kami duduk bersama di balkon atas rumah, menikmati sepoi angin pagi yang menerpa membuat pori-pori kulit terasa segar. Hampir saja aku lupa, untung saja aku segera mengingatnya, meminta nomor ponsel milik Putra. “Putra...” panggilku dengan sayang, “iya sayang” balas Putra juga dengan nada penuh kasih sayang. “Kita sudah lama menikah, tapi aku bahkan tidak tahu nomor ponselmu. Aku bingung saat ingin menghubungimu” ucapku dengan suara sedikit menurun. Putra tertawa melihatku, “oh iya, maaf aku pun lupa. Baiklah, berapa nomor ponselmu?” Putra mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai mendial nomor ketika aku menyebutkan nomor ponselku.
            Ekspresi wajah Putra tiba-tiba berubah, dia seperti terkejut saat aku selesai menyebutkan nomor ponselku. “Apa kau pernah pergi ke Jepang?” tanyanya tiba-tiba, aku mengernyit, kenapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu. “Ya, aku pernah ke Jepang saat masih kuliah dulu, hanya beberapa bulan, pertukaran pelajar. Ada apa?” Putra terlihat berpikir, “ceritakan padaku pengalamanmu di Jepang”, “baiklah” aku mengangguk.

a

            Saat itu aku sedang menempuh studi di sebuah universitas negeri di kota Bandung, saat itu aku semester 6 dan aku di pilih untuk melaksanakan pertukaran pelajar di Jepang. Saat itu aku bersama ketiga temanku berangkat ke Negeri Sakura. Saat sudah sampai di Bandara, kami dijemput dan diantarkan sampai di depan asrama salah satu universitas di Jepang. Karena kami sangat memanfaatkan waktu, kami ingin sekedar berjalan-jalan mengitari Negeri Sakura ini, kesempatan langka bagi kami untuk bisa berkeliling Jepang. Namun, karena ini adalah pengalaman pertama bagi kami, kami masih buta arah dan juga tidak mengenal satupun jalan di sana.
            Aku menghubungi salah satu temanku yang ada di Indonesia, aku meminta kontak seseorang yang ia kenal yang mengetahui jalan-jalan di Jepang. Temanku mengirimkan aku sebuah nomor ponsel, aku sengaja tak menyimpannya karena ini hanya bersifat sementara, sementara aku tak suka mengoleksi nomor ponsel yang jarang aku hubungi maupun yang jarang menghubungiku.
            Saat libur, aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada nomor ponsel yang di berikan oleh temanku, aku lupa tak menyebutkan namaku, dia pun tak memberi tahuku siapa namanya, tapi kami seperti teman yang sudah lama tak bertemu, sangat akrab. Kami saling bertukar pesan singkat, pernah sekali aku meneleponnya karena saat itu kami sedang dikejar waktu, tapi saat ku dengar suara dari seberang adalah suara laki-laki, maka langsung ku serahkan ponselku pada temanku.
            Semenjak aku mengetahui bahwa yang ku hubungi selama ini adalah laki-laki, aku tak pernah lagi menghubunginya, bahkan diapun tak pernah menghubungiku. Jika memang sangat membutuhkan petunjuk jalan, aku yang meminta temanku untuk menghubunginya, karena aku tak ingin berhubungan dengan lawan jenisku. Selama 6 bulan di Jepang membuatku memiliki banyak sekali pengalaman, menambah wawasan kebahasaanku, membuatku semakin yakin untuk menutupi seluruh tubuhku dengan baik.
            Ya tapi itu semua terjadi sudah sekitar 4 tahun yang lalu, dan aku tak pernah lagi memikirkannya. Menyimpan nomor ponselnya pun tidak. Ah, masa-masa itu memang sangat menyenangkan.

a

            Ku lihat Putra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lebih menyenangkan saat ini atau saat dulu kau masih kuliah?” tanya Putra menggoda, “jauh lebih menyenangkan saat ini” jawabku bersemu. “Jodoh memang tak terduga kapan akan dipertemukan” tiba-tiba mimik Putra menjadi serius, “semuanya sudah diatur” jawabku singkat. Putra menghela napasnya sebentar kemudian ia membenarkan posisi duduknya, lebih mendekatkan tubuhnya padaku, tangan kirinya merangkul bahuku, menuntun kepalaku untuk berada di pundaknya.
            “Aku tak sempat menikmati masa-masa perkuliahan. Selepas SMK, aku memilih untuk bekerja di luar negeri, karena aku tahu keluarga ku tak memiliki banyak biaya untukku melanjutkan studi. Padahal aku sangat ingin melanjutkan studiku. Tapi aku berusaha mengerti akan keadaan kedua orang tuaku. Bersyukurlah dirimu karena masih sempat mencicipi bangku kuliah. Tak apa kan jika suami mu ini bukan berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi?” suaranya menurun, “aku tak peduli seberapa tinggi pendidikanmu, asal kau bisa menjadi imam untukku yang akan menuntunku menuju syurgaNya, aku sudah sangat bersyukur” jawabku menenangkan.
            “Dulu aku memilih untuk bekerja ke luar negeri, karena aku pikir gajinya pasti bisa mencukupi kehidupanku dan juga keluargaku di Indonesia, dibandingkan aku harus bekerja di Indonesia dengan gaji yang hanya cukup untuk biaya makan ku sehari-hari. Setelah aku bekerja 2 tahun lamanya, sekitar 4 tahun yang lalu, tiba-tiba ada yang menghubungiku untuk meminta petunjuk jalan karena ia baru menapaki kakinya di Negeri Sakura, ia terus mengirimi ku pesan singkat menanyakan tempat, jalan dan juga kendaraan apa yang harus dinaiki. Pernah sekali ia menghubungiku via telepon, aku mengangkatnya, namun tidak ada suara, hanya ada suara bisikan yang tak jelas, tak lama terdengar suara seorang perempuan di seberang telpon. Kami berbicara panjang, karena aku harus memberitahu jalannya secara detail”, jantungku berdegup lebih cepat, pikiranku mulai melayang “apakah....” aku mulai berangan-angan.
            “Setelah pembicaraan panjang itu, ia tak pernah lagi menghubungiku, aku pun tak berani untuk menghubunginya duluan, akhirnya kami tak pernah lagi saling menyapa. Setahun kemudian aku pulang ke Indonesia dan aku bertekad untuk memulai kehidupanku di Indonesia bersama keluargaku, aku mulai melamar pekerjaan ke perusahaan-perusahaan besar dengan bekal pengalaman kerja ku selama di Jepang dan akhirnya aku di terima pada suatu perusahaan yang sampai saat ini aku masih bekerja di sana. Tak perlu lama, ada seorang gadis yang mendekatiku, selalu mengajakku untuk makan siang bersama, hingga akhirnya aku jatuh cinta padanya” sambung Putra dan membuat rona wajahku padam.
            “Aku mengajaknya menuju pernikahan, namun ia menolak dengan beralasan ingin menikmati masa lajangnya lebih lama lagi dan belum siap untuk menjadi seorang istri. Entah kenapa rasa cintaku padanya hilang dalam sekejap. Dan mulai saat itu aku bertekad untuk mencari seorang istri, bukan sekedar hanya seorang kekasih. Memang tak mudah untuk mendapatkan seorang istri sholeha sepertimu sayang. 3 bulan setelah penolakan itu, aku bertemu dengan guru ku saat aku masih duduk di bangku SMK, aku mengutarakan niatku dan disambut dengan baik oleh guru ku, akhirnya Allah menuntunku padamu melalui guru ku” Putra mencium keningku lembut, “dan aku baru mengetahuinya hari ini, bahwa istriku yang sangat aku cintai adalah perempuan yang dulu merengek meminta petunjuk jalan untuk menikmati masa pertukaran studinya di Jepang, 4 tahun yang lalu. Aku masih menyimpan nomormu, hanya ku berikan nama 1 karena aku tak tahu siapa namamu. Allah memang pemilik rencana terindah. Aku tak pernah menyangka, kita hanya berhubungan lewat pesan singkat, itupun hanya 4 sampai 5 kali, kemudian kita tak lagi saling bertemu ataupun saling menghubungi, tapi hari ini kita di pertemukan sebagai sepasang suami istri”, Putra mengangkat dagu ku, mencium bibirku dengan lembut, “Aku mencintaimu, istriku” air mata bahagia ku tumpah tanpa pemberitahuan, ia mengalir tanpa meminta ijin padaku. Oh lagi-lagi aku di buat melayang oleh tingkah suamiku.

a

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Description

Seorang istri, anak, kakak, adik, dan pendidik.

About Me

Foto saya
Perempuan biasa yang tak pandai bicara

Friendship

Pageviews

About

Untaian kata yang tak pernah henti terurai. Huruf-huruf yang tersedak di tenggorokan, menutup muka untuk keluar. Semakin dalam, semakin sulit diungkapkan. Lewat tulisan aku menyapamu, lewat tulisan aku bercerita dan lewat tulisan aku mengenalmu.