Prolog
Jam dinding
menunjukkan pukul 17.30, Reina mengelus perutnya manja sembari menatap langit
di taman belakang rumah. “Senja ini cantik sekali, semoga kau juga akan
secantik senja ini dan meneduhkan seperti jingganya” ujar Reina lembut.
Tiba-tiba guntur datang saling bersahutan, bulir-bulir hujan mulai turun
bergantian membasahi tubuh Reina. “Rei, masuklah. Jangan sampai kau kehujanan”
teriak Endi, suami Reina.
Lama mereka
bercengkrama di depan televisi yang mempertontonkan acara komedi, jari-jemari
yang menyatu diantara dua tubuh sepasang suami istri itu semakin erat merangkul
satu sama lain. Jemari Reina semakin erat menggenggam Endi, mulutnya sedikit
mengeluarkan suara rintihan menahan rasa sakit. “Kau kenapa?” tanya Endi. Reina
tak menjawab, ia hanya meringis dan memegangi perutnya yang terasa sangat
mulas.
“Ya Tuhan!
Jangan-jangan kau....” Endi memotong kata-katanya sendiri, dengan secepat kilat
ia mengambil kunci mobil yang bertengger di dinding kamarnya. Dengan susah
payah Endi mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya, tubuhnya gemetaran, ia
takut dan juga gugup. Endi membawa Reina ke dalam mobil dan mengantarnya ke
rumah sakit terdekat.
Sampai di ruang
persalinan, Reina semakin merintih kesakitan. Endi tak sanggup melihat Reina
menahan rasa sakitnya sendirian. Peluh bercucuran menghiasi wajah cantik Reina. Diluar sana, hujan
semakin deras menjatuhi tanah, gemuruh bersahutan tak memberi jeda. Wajah Endi
terlihat pucat, wajah Reina lebih pucat. Semuanya menunggu akan kehadiran buah
hati yang ditunggu-tunggu selama ini, buah cinta Reina dan Endi yang pertama.
Menurut dokter,
janin yang ada dalam kandungan Reina adalah seorang putri cantik nan jelita.
Ya, jenis kelaminnya perempuan. “En...di...” lirih suara Reina memanggil Endi
yang berdiri di sampingnya, menemaninya sedari tadi. “Iya sayang. Sedikit lagi,
kau pasti bisa. Putri jelita ingin melihat wajah cantik yang melahirkannya”
ucap Endi dengan tenang meski terlihat raut wajahnya menggambarkan ketakutan.
Mata Reina mulai
sayup-sayup, air mata dan peluh sudah menjadi satu di wajahnya. Tepat pukul
18.01 pada tanggal 13 Agustus, saat lembayung senja menghiasi pekatnya
pergantian waku dan hujan menemani persalinan Reina. Gemuruhnya sudah tak lagi
terdengar, yang terdengar adalah suara tangisan bayi kecil yang sangat cantik.
Mata Reina berbinar-binar, ia bahagia, sangat bahagia. “Endi...” panggil Reina
dengan senyum lebar, “iya sayang. Terima kasih, terima kasih atas perjuanganmu
untuk putri kecil kita”.
“Senjani Rinai
Kirana” ucap Endi yang disusul ciuman hangat di kedua pipi putri kecilnya.
Reina hanya mengangguk bahagia, keduanya meneteskan air mata bahagia. “Putri
kecil kita yang tangguh, yang lahir di waktu senja saat hujan turun” mata Endi
tak pernah lepas dari bayi mungil yang kini ada di tangannya.
Ditaruhnya bayi
mungil nan cantik itu di atas tubuh Reina, Reina menangis bahagia. Ia mengelus
lembut kepala putrinya yang baru ditumbuhi beberapa helai rambut, lalu ia
mencium puncak kepala putrinya. “Senja...” panggilnya lirih.
***
#1
Hujan ke-999
Perkenalkan namaku
Senjani Rinai Kirana. Menurut orang tuaku, aku adalah putri satu-satunya yang
sangat cantik yang menghiasi keluarga ini. Aku dilahirkan di waktu senja, saat
itu hujan turun deras, namun saat kelahiranku hanya tinggal rintik-rintiknya
yang terdengar. Aku senang memiliki nama yang indah. Kedua orang tuaku
memanggilku Senja, katanya supaya mengingatkan mereka akan kelahiranku 24 tahun
silam.
Hari ini adalah
rintik hujan yang kesekian yang ku nikmati kehadirannya. Setelah lama ku
nantikan hujan, akhirnya aku bisa menapakkan kaki di lantai rumah, dan kini
cuaca berpihak padaku. Namun, ada yang berbeda pada rintik hujan kali ini. Ada
satu keluarga besar yang entah darimana asalnya, entah mengetahui rumahku
darimana, mereka datang dengan membawa bingkisan-bingkisan kecil. Aku tak
keluar dari kamarku, aku masih mengunci pintu kamarku.
Aku tak
mendengar pembicaraan keluargaku dengan keluarga lain yang datang ke rumahku.
Tak lama, aku mendengar suara derap langkah mendekati kamarku. Tok tok tok,
“Senja...” panggil Endi pada putri manisnya yang kini sudah beranjak dewasa.
“Ya, Ayah” sahutku dari dalam kamar. “Ada seseorang yang ingin mengenalmu, kau
tak perlu keluar kamar jika kau nyaman di dalam sana”, kemudian aku mendengar
suara deritan kursi yang digeser tepat di depan pintu kamarku, “silahkan” suara
Ayah pada seseorang yang katanya ingin mengenalku.
“Assalamualaikum”
terdengar suara pemuda dari balik pintu kamarku, “waalaikumsalam” jawabku
tenang, jantungku berdebar-debar, siapa dia? Tanyaku dalam hati.
“Perkenalkan, aku Putra Adikia. Kau bisa memanggilku Putra. Siapa namamu?” aku
terdiam lama, berusaha mengingat sesuatu ketika mendengar suara pemuda itu.
“Ekhm...” pemuda itu berdeham membuat lamunanku buyar, “maaf, namaku Senjani
Rinai Kirana. Kau bisa memanggilku Senja”. “Senja... bagaimana kalau ku panggil
kau Rinai? Apa kau keberatan?” tanyanya dari seberang pintu, “tidak” aku
menggeleng pelan. Percakapan panjang terjadi antara diriku dengan pemuda yang
katanya bernama Putra. Percakapan panjang itu disaksikan oleh pintu kamarku
yang menghalangi kami berdua, dan juga ada ayahku yang berdiri tak jauh dari
pemuda itu.
Saat hujan reda
dan awan kembali membuka celah biru di langit sore, Putra dan juga keluarganya
pamit untuk pulang. Aku masih terdiam dalam kamarku yang nyaman. Aku seperti
merasakan deja vu saat mendengarkan suara Putra, sepertinya aku pernah
berbicara dengannya, tapi dimana? Teman-temanku kebanyakan perempuan, aku tak
pernah bisa dekat dengan laki-laki, jangankan untuk bicara dengan laki-laki,
menatap wajah laki-laki pun bisa ku hitung dengan jari. “Ah, siapa dia
sebenarnya.” Lirihku di sela-sela lamunanku.
“Senja, keluar
sayang. Mereka sudah pulang.” Suara ibu begitu lembut di telingaku, “iya, bu”. Ayah
dan Ibuku sudah duduk di sofa ruang tamu, aku ikut duduk mensejajari kedua
orang tuaku. “Senja putri ku sayang, tadi ada seorang pemuda yang membawa
keluarganya kemari. Ia ingin lebih mengenalmu, ia ingin menjadikanmu sebagai
pasangan hidupnya. Setelah tadi kau berbicara dengannya, apakah kau setuju
dengan lamaran pemuda itu?” penjabaran Ayah membuatku tercengang sesaat,
“lamaran? Berarti menikah?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku, “iya sayang.
Tak perlu cepat-cepat untuk menjawab. Buatlah pilihan sesuai hatimu.
Istikharah” kepalaku di usap lembut oleh ibu.
Empat hari
setelah itu, aku berbicara lagi dengan kedua orang tua ku. “Ayah, Ibu, aku
sudah memikirkannya dengan baik dan insha Allah pilihanku sudah matang. Bismillahirrahmanirrahim,
aku setuju dengan lamaran pemuda itu, aku menerima pemuda itu untuk menjadi
teman hidupku.” Rasanya itu adalah kata-kata terpanjang yang pernah aku
lontarkan pada kedua orang tuaku. “Alhamdulillah...” ucap mereka bersamaan.
a
Dua hari
setelah aku memberikan jawaban, Putra dan juga keluarganya datang kembali ke
rumahku. Saat itu aku ikut keluar dan menyambut kedatangan keluarganya. Aku
melihat ada sembilan orang, sepuluh bersama Putra. Ayahnya memperkenalkan
anggota keluarganya satu persatu. Yang pertama, Ibunda Putra yang berperawakan
besar namun terlihat anggun dan cantik. Ayahnya tinggi seperti Putra, kulitnya
kecokelatan dan masih terlihat muda. Dan Putra... dia tampan. Hanya itu yang
bisa aku deskripsikan tentang Putra. Tubuhnya tinggi meskipun tak begitu tegap,
kulitnya putih kecokelatan namun tetap bersih, hidungnya yang terlihat lancip,
matanya berwarna hijau pirene, begitu meneduhkan saat dipandang. Mereka datang
bersama Paman, Bibi, kedua keponakan Putra dan juga Kakek dan Nenek Putra.
Kami saling
bertatapan, aku sampai lupa bahwa aku tak boleh berlama-lama memandang
laki-laki, langsung ku alihkan pandanganku pada Ibunda Putra. Kedua keluarga
berbicara dengan serius namun tetap hangat. Saat Ayahku menjawab lamaran Putra
padaku, ku lihat ada rona bahagia yang terpancar dari sudut matanya, bibirnya
tertarik membuat senyumnya mengembang dengan sempurna. “Alhamdulillah...” ucap
mereka serentak. Ya Tuhan, aku baner-benar jatuh cinta saat ini.
Tanggal
pernikahan segera kami putuskan, dengan matang kami setuju akan saran tanggal
pernikahan dari kedua orang tuaku dan juga kedua orang tua Putra. Ayahku
bersalaman dengan ayah Putra dan ibuku berpelukan dengan ibunda Putra. Rasanya
sangat bahagia melihat pemandangan seperti ini. Setelah melihat ayah dan ibuku,
pandanganku tertuju pada Putra yang sudah menatapku lebih dulu, aku jadi salah
tingkah dan langsung mengalihkan pandanganku, dan aku yakin saat itu wajahku
sudah merona merah seperti kepiting rebus karena malu.
a
Pernikahan akan
dilaksanakan satu minggu lagi. Mulai dari sekarang aku mulai merawat tubuhku
dengan baik dan juga menjaga kesehatanku dengan baik. “Tak perlu menyewa rias
pengantin, biar ibu sendiri yang akan meriasmu besok saat pernikahanmu” ucap
ibu dengan binar bahagia di matanya. Aku hanya mengangguk, aku yakin hasil
riasan ibu tidak akan kalah dengan jasa rias pengantin lainnya, karena seorang
ibu pasti ingin yang terbaik untuk anaknya bukan?
Selama satu minggu
ini aku tak pernah bertemu dengan Putra, berhubungan lewat ponsel pun tidak,
karena kami tidak saling menukar nomor handphone. Biarkan saja kami
bertemu di altar pernikahan nanti. Pasti rindu itu akan tersalurkan dengan baik
saat nanti ijab qabul sudah dikatakannya di depan ayahku. Aku sungguh tidak
sabar, setiap hari selama menunggu hari pernikahanku, jantungku tak pernah mau
berdetak dengan normal, selalu saja lebih cepat dari biasanya, bahkan dari
siapapun di rumah ini.
Akhirnya hari yang
di tunggu-tunggu tiba. Hari ini 9 september adalah hari pernikahanku dengan
Putra, pagi-pagi sekali aku sudah bangun, aku gugup, sangat gugup. “Tenanglah
nak, ibu tahu bagaimana rasanya. Jangan uring-uringan begitu” nasehat ibuku
membuatku berhenti mondar-mandir di dalam kamar, aku menghirup dan menghela
napasku dengan tenang.
Setelah selesai
merias wajahku dan juga mengenakan gaun pengantin padaku, ibuku pergi keluar
untuk menyaksikan ijab qabul yang akan di ucapkan oleh Putra, sedangkan aku
masih duduk manis di atas ranjang kamarku. Setelah ijab qabul selesai di
ucapkan, mereka berdoa bersama, setelah itu ibu menjemputku di kamar, ia
menuntunku keluar untuk menemui suamiku. Ya, hari ini statusku sudah berubah
menjadi istri Putra Adikia.
Senyum mengembang
di wajahku dan juga wajah Putra, mata kami bertemu. Putra menyentuhku dan untuk
pertama kalinya aku disentuh oleh seorang laki-laki, suamiku. Ia menggenggam
tanganku, mengenakan sebuah cincin emas dengan bentuk lengkung yang indah di
tengahnya, ia menyematkan cincin di jariku tanpa mengalihkan pandangannya dari
mataku, aku dibuat salah tingkah oleh tatapannya. Aku mencium punggung
tangannya, ia mencium puncak kepalaku, lama, sangat lama dan ku lihat air mata
mengalir di pipinya.
Ya, hari ini aku
resmi menjadi istrinya. Aku selalu memegang lengan Putra, sepertinya aku tak
ingin melepasnya. “Istriku..aku mencintaimu” ucap Putra tepat di telingaku,
entah apakah ada yang mendengar ataupun tidak, aku membalasnya “aku pun sama,
mencintaimu, suamiku”.
Senja datang,
tamu-tamu sudah tak lagi berdatangan karena kami memang membatasi jam undangan
meskipun resepsi pernikahan dilaksanakan di rumahku. Aku dan Putra kini ada di
dalam kamarku, kami masih saling diam dan hanya tatapan mata kami yang
berbicara. Setelah membersihkan diri dan membereskan isi rumah, kami duduk
berdampingan di tepi ranjang. “Kenapa kau menyetujui lamaranku?” tanya Putra
tiba-tiba, “aku hanya mengikuti kata hatiku. Hatiku memilihmu” jawabku
seadanya. Putra membalikkan badannya padaku, ia mencium keningku dan kemudian
memelukku dengan erat. Ah, rasanya nyaman sekali.
“Dari mana kau
bisa mengetahui ku? Bukankah kita bahkan tak saling mengenal? Bertemu pun
rasanya belum pernah” kini aku yang balik bertanya padanya, “aku meminta
bantuan pada guru ku saat aku SMA, dan ia mengenalkan ku pada keluargamu. Aku
yakin guru ku tak akan membohongiku, ia pasti akan memberikan yang terbaik
untuk muridnya, bukan?” Ya, meskipun kami tak saling mengenal, bertemu pun
belum pernah, tapi malam ini rasanya aku sangat jatuh cinta padanya, rasanya
aku sudah sangat mengenalnya. Dia suamiku, Putra Adikia.
Putra masih
memelukku dengan erat, “terimakasih Rinai, istriku” lagi-lagi ia mengecup
keningku, membuatku merasa nyaman, sangat nyaman. “Aku suka pada namamu”
pernyataan Putra membuatku mengangkat kepalaku, “hanya karena namaku?” tanyaku
penasaran, “pada namamu saja aku suka, apa lagi denganmu, aku jatuh cinta
bahkan tergila-gila padamu” jawaban Putra selalu membuatku melayang. Aku
bahagia.
Kami saling
menceritakan keluarga kami masing-masing, menceritakan masa lalu yang
sebenarnya tak penting untuk dibicarakan. Aku tak bisa menceritakan masa laluku
tentang seseorang, karena memang aku baru pertama kali ini jatuh cinta dengan
lelaki. Berbeda dengan Putra yang panjang lebar menceritakan masa lalunya,
sudah ada beberapa perempuan yang pernah menghiasi kehidupan Putra, namun aku
sungguh beruntung karena akulah yang terakhir untuknya.
Dalam derasnya
hujan kami bercengkrama dengan cerita-cerita tentang kehidupan kami, suara tawa
selalu memenuhi ruang kamarku yang gelap, suara guntur yang saling bersahutan pun
tak kami hiraukan. Mataku tak pernah bosan untuk menatap mata hijau pirenenya,
sangat meneduhkan. Tanganku belum terlepas dari pinggangnya, masih melingkar
dengan sempurna. Kenapa aku jadi semanja ini pikiran itu muncul saat
lenganku tak pernah lepas dari pinggangnya, tak apalah aku tak peduli, yang
penting aku bahagia. Putra bercerita dengan penuh ekspresi, membuatku semakin
menyadari betapa tampannya suamiku.
Malam ini aku tak
lagi tidur sendirian, ada Putra, suamiku yang menemani tidurku. Saat ingin memejamkan
mata, ku dengar rintikan hujan di luar sana. “Ah, hujan” ucapku tanpa sadar,
“kau suka?” tanya Putra, “ya, aku sangat menyukai hujan. Ini adalah hujan ke
999 yang ku nikmati, karena saat kau datang melamarku itu adalah hujan yang ke
998 yang ku nikmati. Namun ini adalah hujan pertamaku, bersamamu.” Ucapku
sambil mendekatkan tubuhku ke arah Putra dan memeluknya, aku tidur dengan
posisi kepalaku di atas lengan Putra. Kami tidur dengan nyenyak malam ini.
***
#2
Tak Pernah Terduga
Hari ini aku dan
Putra pindah ke rumah milik Putra. Kami meninggalkan kedua orang tua kami, kami
ingin belajar untuk hidup mandiri. Besok Putra sudah harus masuk kerja lagi,
rasanya aku ingin sekali memperpanjang masa cuti Putra, agar waktu berdua bisa
lebih lama lagi. Aku masih belum bekerja, karena Putra tak mengijinkanku untuk
bekerja, katanya ia ingin aku mengurusi rumah tangga saja, dan tak perlu
berlelah untuk membantu Putra, biarlah Putra bertanggung jawab untuk mencari
nafkah, dan aku menjalankan tanggung jawabku sebagai istrinya.
Kami tidak pindah
jauh, bahkan masih dalam satu kota dengan kedua orang tua kami, hanya saja
jarak rumah yang kami tempati dengan rumah orang tua ku berjarak sekitar 30
menit, sedangkan untuk menuju rumah kedua orang tua Putra harus menempuh waktu
45 menit. Hingga sore kami masih saja berkutat dengan aksesoris rumah yang
belum tertata rapih, barang-barang pun belum semuanya tertata di tempatnya.
Rasanya lelah sekali mengerjakan semua ini berdua, tapi meskipun lelah aku
tetap bahagia karena bisa berdua dengan Putra.
Setelah semua
tertata dengan rapih dan membersihkan badan. Kami bersantai di depan televisi
yang menayangkan acara kartun, padahal kami sudah sama-sama dewasa entah kenapa
kartun tetap pilihan terbaik untuk ditonton. Aku duduk di sebelah Putra sambil
menyenderkan kepalaku di dadanya, mendengar detak jantungnya yang seirama
denganku, oh beginikah rasanya jatuh cinta. “Kenapa?” tanya Putra yang
merasakan kepalaku tidak mau diam di dadanya, “tidak. Tidak apa-apa” jawabku
dengan penuh senyuman tanpa menatap matanya.
a
Pagi-pagi sekali
aku sudah terbangun, menatap wajah pulas suamiku di sampingku adalah kegiatan
rutinku setiap pagi, ku tatap lekat-lekat wajah yang ingin berlelah demi
kebahagiaan diriku, ku usap pelan pipinya, “terima kasih telah memilihku dan
menjadi suami ku” bisikku pelan pada telinganya. Aku terkejut ketika jemarinya
bergerak begitu cepat menggenggam tanganku yang ada di pipinya, matanya terbuka
dan menatapku intens, “sama-sama Rinai, istriku”. Cup kecupan manis dan
singkat di bibirku berhasil membuatku terpaku, aku masih tak percaya ini adalah
pertama kalinya bibirku di sentuh oleh bibir laki-laki, ya suamiku yang
melakukannya. Lagi-lagi aku dibuat melayang olehnya.
Sekarang aku punya
kesibukan baru, sebelumnya setiap pagi hanya membantu ibu ke pasar dan memasak
untuk ayah dan adik-adikku. Sekarang aku harus memasak untuk suamiku tercinta,
menyiapkan segala keperluannya, mulai dari pakaiannya, sepatunya, hingga isi
tas kerjanya. Ponselnya pun aku yang men-charge jika baterainya habis.
Kesibukan yang membuatku bahagia. “Rin, kaus kaki ku dimana?” teriak Putra dari
dalam kamar, “aku taruh di atas sepatumu, sepatumu ada di depan” jawabku balik
teriak karena memang jarak dari dapur ke kamar lumayan jauh, jika hanya
mengeluarkan suara sekedarnya, tidak akan terdengar.
“Sarapan sudah
siap!” seruku dengan senang sembari menata piring yang berisi makanan di meja
makan. Putra sedikit berlari menghampiriku, ia memelukku dari belakang dan
mencium pipi kiri ku, “terima kasih”. Kami sarapan bersama tanpa suara, Putra
memang bukan tipe orang yang suka berbicara saat sedang makan, hal itu aku tahu
dari ibu mertuaku. Setelah selesai sarapan, dan membersihkan meja dan juga
piringnya, aku membantu Putra memakaikan sepatu kerjanya, “jam berapa biasanya
kau pulang dari kantor?”, “sekitar jam 4 sore” jawabnya singkat.
Sebelum Putra
berangkat kerja, aku mencium punggung tangan kanannya dan Putra mencium
keningku singkat. Aku menatap kepergian Putra sampai mobilnya melewati pintu gerbang.
Aku menghela napas berat, di rumah sebesar ini aku sendiri dan tidak ada yang
bisa aku lakukan. Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tengah, tanganku
mulai membuka-buka buku resep berbagai macam masakan, “Ya ampun, aku lupa untuk
menanyakan apa makanan kesukaannya” gerutu ku karena tak sempat bertanya hal
itu, padahal aku ingin memasak makanan kesukannya ketika ia pulang nanti.
Baiklah untuk besok saja.
Sudah pukul 3
sore, sebentar lagi Putra pulang. Aku harus memasak makanan untuknya, tapi saat
ku lihat isi kulkas hanya ada telur dan sedikit sayuran, “aku lupa berbelanja.
Kemarin belum sempat berbelanja”. Aku berniat untuk keluar berbelanja sebentar,
ku raih ponselku untuk menghubungi Putra, aku hanya tak ingin saat ia pulang,
aku tak ada di rumah tanpa menghubunginya terlebih dahulu. Ya ampun, bahkan aku
lupa belum menyimpan nomor ponselnya. Padahal sudah satu satu minggu kami
menikah tapi aku belum dapat nomor ponselnya, tinggal satu rumah tapi tak tahu
nomor ponsel, payah sekali aku. Jadilah aku menunggu sebentar sampai Putra
pulang, agar aku bisa meminta ijin padanya untuk berbelanja sebentar.
Tak perlu lama
menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang. “Assalamualaikum” ku lihat wajah
Putra ketika pintu mulai terbuka, “waalaikumsalam” jawabku ramah. Aku
membantunya membuka sepatunya, dan mengambil alih tasnya. Aku biarkan ia
beristirahat sebentar dan membersihkan tubuhnya. “Sayang, aku ingin keluar
berbelanja sebentar, tidak apa-apa kan?” aku meminta ijin suamiku sebelum
berangkat pergi, “biar ku temani” pernyataan Putra tak bisa aku bantah,
meskipun aku agak keberatan karena aku kasihan pada Putra yang masih lelah,
apalagi ia baru saja pulang kerja.
Aku menikmati saat
berbelanja dengan suamiku, ini pertama kalinya untukku berjalan-jalan dengan
laki-laki, tanganku tak pernah lepas bergelayut pada lengan Putra, sesekali aku
melepaskan tanganku, lengan besar Putra merangkul pinggangku dengan erat. Ah,
rasanya pengantin baru yang selalu jatuh cinta setiap hari, menyenangkan. Niat
awalku hanya berbelanja sayuran dan lauk untuk bahan masakan, tapi semua di
luar dugaan, aku malah berbelanja macam-macam, itu pun karena Putra yang
mengingatkan dan mengajakku untuk berbelanja kebutuhan lainnya.
Akhirnya sampai di
rumah pukul 7 malam. Aku langsung menata dan merapihkan barang-barang yang baru
saja dibeli, sedangkan Putra menghempaskan tubuhnya di sofa depan televisi.
Setelah selesai merapihkan barang-barang, Putra mengajakku untuk tidur, karena
hari sudah malam dan ia sangat lelah.
Aku berbaring di
samping Putra, ia mengecup bibirku lagi. Tak lama ia sudah tertidur pulas.
Entah kenapa aku merasa gelisah, aku tidak bisa memejamkan mataku. Aku terduduk
di atas ranjang, menghela napas pelan, ku pejamkan mata, mengingat-ingat adakah
hal yang mengganjal sehingga aku sulit tidur. Lama ku pejamkan mata, oh ya! Aku
baru ingat, aku belum meminta nomor handphone suamiku. Sudahlah esok
akan ku tanyakan. Lagipula esok adalah hari libur, jadi Putra tidak akan pergi
kerja, ia akan ada di rumah menemani ku sepanjang hari. Aku kembali berbaring
dan memejamkan mata, akhirnya aku bisa menyusul Putra ke dunia mimpi.
a
Di sepertiga malam
Putra membangunkan ku, kami melakukan kebiasaan yang sudah menjadi hal rutin di
setiap sepertiga malam, menghadap Yang Kuasa. Biasanya aku melakukannya
sendirian, tapi kali ini aku melakukannya bersama dengan suamiku. Terima kasih,
Tuhan karena Kau telah memberikan Putra untukku. Setelah beribadah, Putra
kembali tertidur dengan lelap, sedangkan aku mulai menjalankan tanggung
jawabku, aku mulai membersihkan dan juga merapihkan seisi rumah. Setelah itu
aku mencuci pakaian dan menyiapkan untuk sarapan nanti.
Kami melahap
makanan yang ada di meja dengan tenang sampai habis. Setelah selesai
membersihkan meja beserta piringnya, kami duduk bersama di balkon atas rumah,
menikmati sepoi angin pagi yang menerpa membuat pori-pori kulit terasa segar.
Hampir saja aku lupa, untung saja aku segera mengingatnya, meminta nomor ponsel
milik Putra. “Putra...” panggilku dengan sayang, “iya sayang” balas Putra juga
dengan nada penuh kasih sayang. “Kita sudah lama menikah, tapi aku bahkan tidak
tahu nomor ponselmu. Aku bingung saat ingin menghubungimu” ucapku dengan suara
sedikit menurun. Putra tertawa melihatku, “oh iya, maaf aku pun lupa. Baiklah,
berapa nomor ponselmu?” Putra mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai
mendial nomor ketika aku menyebutkan nomor ponselku.
Ekspresi wajah
Putra tiba-tiba berubah, dia seperti terkejut saat aku selesai menyebutkan
nomor ponselku. “Apa kau pernah pergi ke Jepang?” tanyanya tiba-tiba, aku
mengernyit, kenapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu. “Ya, aku pernah ke Jepang
saat masih kuliah dulu, hanya beberapa bulan, pertukaran pelajar. Ada apa?”
Putra terlihat berpikir, “ceritakan padaku pengalamanmu di Jepang”, “baiklah”
aku mengangguk.
a
Saat itu aku
sedang menempuh studi di sebuah universitas negeri di kota Bandung, saat itu
aku semester 6 dan aku di pilih untuk melaksanakan pertukaran pelajar di
Jepang. Saat itu aku bersama ketiga temanku berangkat ke Negeri Sakura. Saat
sudah sampai di Bandara, kami dijemput dan diantarkan sampai di depan asrama
salah satu universitas di Jepang. Karena kami sangat memanfaatkan waktu, kami
ingin sekedar berjalan-jalan mengitari Negeri Sakura ini, kesempatan langka
bagi kami untuk bisa berkeliling Jepang. Namun, karena ini adalah pengalaman
pertama bagi kami, kami masih buta arah dan juga tidak mengenal satupun jalan
di sana.
Aku menghubungi
salah satu temanku yang ada di Indonesia, aku meminta kontak seseorang yang ia
kenal yang mengetahui jalan-jalan di Jepang. Temanku mengirimkan aku sebuah
nomor ponsel, aku sengaja tak menyimpannya karena ini hanya bersifat sementara,
sementara aku tak suka mengoleksi nomor ponsel yang jarang aku hubungi maupun
yang jarang menghubungiku.
Saat libur, aku
mengirimkan sebuah pesan singkat pada nomor ponsel yang di berikan oleh
temanku, aku lupa tak menyebutkan namaku, dia pun tak memberi tahuku siapa
namanya, tapi kami seperti teman yang sudah lama tak bertemu, sangat akrab.
Kami saling bertukar pesan singkat, pernah sekali aku meneleponnya karena saat
itu kami sedang dikejar waktu, tapi saat ku dengar suara dari seberang adalah
suara laki-laki, maka langsung ku serahkan ponselku pada temanku.
Semenjak aku
mengetahui bahwa yang ku hubungi selama ini adalah laki-laki, aku tak pernah
lagi menghubunginya, bahkan diapun tak pernah menghubungiku. Jika memang sangat
membutuhkan petunjuk jalan, aku yang meminta temanku untuk menghubunginya,
karena aku tak ingin berhubungan dengan lawan jenisku. Selama 6 bulan di Jepang
membuatku memiliki banyak sekali pengalaman, menambah wawasan kebahasaanku,
membuatku semakin yakin untuk menutupi seluruh tubuhku dengan baik.
Ya tapi itu semua
terjadi sudah sekitar 4 tahun yang lalu, dan aku tak pernah lagi memikirkannya.
Menyimpan nomor ponselnya pun tidak. Ah, masa-masa itu memang sangat
menyenangkan.
a
Ku lihat Putra
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lebih menyenangkan saat ini atau saat
dulu kau masih kuliah?” tanya Putra menggoda, “jauh lebih menyenangkan saat
ini” jawabku bersemu. “Jodoh memang tak terduga kapan akan dipertemukan”
tiba-tiba mimik Putra menjadi serius, “semuanya sudah diatur” jawabku singkat.
Putra menghela napasnya sebentar kemudian ia membenarkan posisi duduknya, lebih
mendekatkan tubuhnya padaku, tangan kirinya merangkul bahuku, menuntun kepalaku
untuk berada di pundaknya.
“Aku tak sempat
menikmati masa-masa perkuliahan. Selepas SMK, aku memilih untuk bekerja di luar
negeri, karena aku tahu keluarga ku tak memiliki banyak biaya untukku
melanjutkan studi. Padahal aku sangat ingin melanjutkan studiku. Tapi aku
berusaha mengerti akan keadaan kedua orang tuaku. Bersyukurlah dirimu karena
masih sempat mencicipi bangku kuliah. Tak apa kan jika suami mu ini bukan
berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi?” suaranya menurun, “aku tak
peduli seberapa tinggi pendidikanmu, asal kau bisa menjadi imam untukku yang
akan menuntunku menuju syurgaNya, aku sudah sangat bersyukur” jawabku
menenangkan.
“Dulu aku memilih
untuk bekerja ke luar negeri, karena aku pikir gajinya pasti bisa mencukupi
kehidupanku dan juga keluargaku di Indonesia, dibandingkan aku harus bekerja di
Indonesia dengan gaji yang hanya cukup untuk biaya makan ku sehari-hari.
Setelah aku bekerja 2 tahun lamanya, sekitar 4 tahun yang lalu, tiba-tiba ada
yang menghubungiku untuk meminta petunjuk jalan karena ia baru menapaki kakinya
di Negeri Sakura, ia terus mengirimi ku pesan singkat menanyakan tempat, jalan
dan juga kendaraan apa yang harus dinaiki. Pernah sekali ia menghubungiku via
telepon, aku mengangkatnya, namun tidak ada suara, hanya ada suara bisikan yang
tak jelas, tak lama terdengar suara seorang perempuan di seberang telpon. Kami
berbicara panjang, karena aku harus memberitahu jalannya secara detail”,
jantungku berdegup lebih cepat, pikiranku mulai melayang “apakah....” aku mulai
berangan-angan.
“Setelah
pembicaraan panjang itu, ia tak pernah lagi menghubungiku, aku pun tak berani
untuk menghubunginya duluan, akhirnya kami tak pernah lagi saling menyapa.
Setahun kemudian aku pulang ke Indonesia dan aku bertekad untuk memulai
kehidupanku di Indonesia bersama keluargaku, aku mulai melamar pekerjaan ke
perusahaan-perusahaan besar dengan bekal pengalaman kerja ku selama di Jepang
dan akhirnya aku di terima pada suatu perusahaan yang sampai saat ini aku masih
bekerja di sana. Tak perlu lama, ada seorang gadis yang mendekatiku, selalu
mengajakku untuk makan siang bersama, hingga akhirnya aku jatuh cinta padanya”
sambung Putra dan membuat rona wajahku padam.
“Aku mengajaknya
menuju pernikahan, namun ia menolak dengan beralasan ingin menikmati masa
lajangnya lebih lama lagi dan belum siap untuk menjadi seorang istri. Entah
kenapa rasa cintaku padanya hilang dalam sekejap. Dan mulai saat itu aku
bertekad untuk mencari seorang istri, bukan sekedar hanya seorang kekasih.
Memang tak mudah untuk mendapatkan seorang istri sholeha sepertimu sayang. 3
bulan setelah penolakan itu, aku bertemu dengan guru ku saat aku masih duduk di
bangku SMK, aku mengutarakan niatku dan disambut dengan baik oleh guru ku,
akhirnya Allah menuntunku padamu melalui guru ku” Putra mencium keningku
lembut, “dan aku baru mengetahuinya hari ini, bahwa istriku yang sangat aku
cintai adalah perempuan yang dulu merengek meminta petunjuk jalan untuk
menikmati masa pertukaran studinya di Jepang, 4 tahun yang lalu. Aku masih
menyimpan nomormu, hanya ku berikan nama 1 karena aku tak tahu siapa namamu.
Allah memang pemilik rencana terindah. Aku tak pernah menyangka, kita hanya
berhubungan lewat pesan singkat, itupun hanya 4 sampai 5 kali, kemudian kita
tak lagi saling bertemu ataupun saling menghubungi, tapi hari ini kita di
pertemukan sebagai sepasang suami istri”, Putra mengangkat dagu ku, mencium
bibirku dengan lembut, “Aku mencintaimu, istriku” air mata bahagia ku tumpah
tanpa pemberitahuan, ia mengalir tanpa meminta ijin padaku. Oh lagi-lagi aku di
buat melayang oleh tingkah suamiku.
a
0 komentar:
Posting Komentar