Malam ini masih dihiasi hujan, rintik – rintiknya
menemani setiap detik diwaktu tidurku, bunyi – bunyi petir yang menyambar,
sekejap melintas beralun tenang seakan mengerti keadaanku, meramaikan dunia
mimpiku, meski langit gelap tapi Tuhan masih memberi sedikit cahaya dilangitku.
Tak lama, Iris menampakkan sedikit
keindahannya, melintas disepanjang penglihatan, mewarnai langit yang sedari
tadi mendung, pekat tak menarik.
Semilir angin berhembus bersahutan
dengan rinai hujan yang masih setia membasahi bumi. Dalam lelapnya malam yang
tak tersapa, dengan asa digenggaman jemari, ku beranikan diri untuk menyapa
mimpi. Sedang apa aku didalam mimpi? Ah, seharusnya ku putar saja anak kunci
dipintu itu, tak usah bertanya, karena hanya aku yang mengetahui jawabnya.
Aku berdiri sendiri ditengah kerumunan orang yang lalu
lalang melintasi jalanan, tak ada satupun yang ku kenal. Semuanya terasa asing, suasana ini, dan juga orang – orang ini.
Tubuh ini terasa kaku, bibir ini tak ingin berkata meski hati berkali-kali
berteriak memanggil seseorang yang membelakangiku, seseorang yang sempat
menoleh namun tak sempat ku sapa dengan baik. Seharusnya ku biarkan ia pergi
berlalu dan tak menoleh lagi, tapi kali ini aku memberinya kesempatan untuk
kembali melihatku dan meninggalkanku, kesekian kalinya aku kehilangan.
“Ini
hanya mimpi” bisik hati kecilku menenangkan. “Tak perlu khawatir, aku akan
datang menemuimu, aku tak pernah melupakanmu, hanya sedikit melihatmu berbeda
karena waktu yang merubahnya” suara parau yang tak asing ditelingaku, seseorang
yang mungkin tadi meninggalkanku, kini berada di belakangku sembari membisikkan
kata yang tak ingin aku dengar dari bibirnya. Terpaku terpana merasakan hembusan
nafas dari mulutnya yang berhembus menjalari telinga dan leher jenjangku, aku
masih tak ingin menoleh dan melihat siapa yang sedang berbicara padaku, ku
biarkan perasaan ini mengambang dibatas waktu senja ini.
Dunia
gelap tak berwajah, memendam beberapa kenangan yang terkubur perlahan dalam
pikiran, rinai hujan ini meresonansi kembali pikiran-pikiran yang seharusnya
sudah ku lupakan. Perlahan menengadahkan tangan, mengumpulkan butir-butir hujan
yang jatuh menetes dari atap-atap rumah. Semburat cahaya mulai nampak, mata
yang terbuka disambut indahnya pelangi, hari mulai terang dan hujan semakin
menyurut. Langit sudah lelah untuk menangis, meratapi kehidupan yang tak
kunjung membaik, semakin kejam dan terus menusuk dada hingga sesak. Aku berdiri
ditengah ribuan duri yang tumbuh di kisahku, tertatih menggapai muara disudut
jalan, menepi pada bara api yang membara, tak ada waktu untuk berhenti.
Ditepi
tebing curam, ku lihat diriku berdiri tanpa teman, ditengah rindangnya
pepohonan yang tumbuh secara liar, diterkam angin yang berhembus kencang
semakin lama tubuh ini semakin goyah, terpejam mata ini dan perlahan pijakan
kaki bergerak maju hingga akhir tepian tebing. Teriakan kasar air laut menghujam
tubuh yang terjerembab didalam air, ombak mengombang-ambing tubuh lelah yang
tak berjiwa.
Tersentak
mata ini terbuka, langit-langit kamar terlihat jelas dengan lampu padam yang
menggantung menghiasi langit kamar, keringat tak henti mengalir disekujur
tubuh, nafas yang memburu seperti sehabis maraton selama berjam-jam. Menghirup
nafas dalam, merasakan angin-angin yang masuk melalui pori-pori yang terbuka,
melepaskan penjara udara melintasi bibir mungil yang agak terbuka. Terduduk
ditepi ranjang, menggenggam kunci mimpiku yang terlihat berkarat. Telah lama
aku tak membukanya, mereka tak inginkan aku datang.
Ah
aku melihatnya, dia yang dalam gelap tak bercahaya, menyatu dengan alam yang
tak terduga kapan tertiup angin. Langit-langit kamar yang diam seribu bahasa
enggan untuk menjadi saksi hadirnya ia dalam kehidupanku. Disini, dilantai ini
ia pernah menapaki langkah kakinya untuk pertama kalinya, tepat dihari ini tiga
tahun yang lalu.