Malam ini masih di
hiasi hujan, rintik – rintiknya menemani setiap detik di waktu tidurku, bunyi –
bunyi petir yang menyambar, sekejap melintas beralun tenang seakan mengerti
keadaanku, meramaikan dunia mimpiku, meski langit gelap tapi Tuhan masih
memberi sedikit cahaya di langitku. Tak lama, Iris menampakkan sedikit keindahannya, melintas di sepanjang
penglihatan, mewarnai langit yang sedari tadi mendung, pekat tak menarik.
Semilir
angin berhembus bersahutan dengan rinai hujan yang masih setia membasahi bumi.
Dalam lelapnya malam yang tak tersapa, dengan asa digenggaman jemari, ku
beranikan diri untuk menyapa mimpi. Sedang apa aku didalam mimpi? Ah,
seharusnya ku putar saja anak kunci dipintu itu, tak usah bertanya, karena
hanya aku yang mengetahui jawabnya.
Iris : dewi
pelangi dalam mitologi yunani
***
Aku berdiri
sendiri ditengah kerumunan orang yang lalu lalang melintasi jalanan, tak ada satupun yang ku kenal. Semuanya terasa asing, suasana ini, dan
juga orang – orang ini. Tubuh ini terasa kaku, bibir ini tak ingin berkata meski
hati berkali-kali berteriak memanggil seseorang yang membelakangiku, seseorang
yang sempat menoleh namun tak sempat ku sapa dengan baik. Seharusnya ku biarkan
ia pergi berlalu dan tak menoleh lagi, tapi kali ini aku memberinya kesempatan
untuk kembali melihatku dan meninggalkanku, kesekian kalinya aku kehilangan.
Kehilangan.
Kata yang mungkin menjemukan untuk semua umat, termasuk diriku. Bukan lagi
berbicara tentang kekuatan saat ditinggalkan, kepiawaian menghadapi
kesendirian, kesanggupan mencintai kesepian. Kehilangan yang selalu menjadi
topik mengerikan pada pembicaraan apapun. Sekarang bukan lagi saatnya
bercengkrama dengan ketakutan akan rasa ditinggalkan, sendirian bahkan
kesepian, sudah saatnya beranjak dari ketakutan itu dan belajarlah mencintai
kesendirianmu. Karena sendiri bukan berarti sepi, karena sendiri bukan berarti
hampa.
“Ini hanya mimpi” bisik hati kecilku
menenangkan. “Tak perlu khawatir, aku akan datang menemuimu, aku tak pernah
melupakanmu, hanya sedikit melihatmu berbeda karena waktu yang merubahnya”
suara parau yang tak asing ditelingaku, seseorang yang mungkin tadi
meninggalkanku, kini berada di belakangku sembari membisikkan kata yang tak
ingin aku dengar dari bibirnya. Terpaku terpana merasakan hembusan nafas dari
mulutnya yang berhembus menjalari telinga dan leher jenjangku, aku masih tak ingin
menoleh dan melihat siapa yang sedang berbicara padaku, ku biarkan perasaan ini
mengambang dibatas waktu senja ini.
Aku tak pernah mengira akan kembali bertemu
dengan masa lalu yang akupun belum bisa berdamai dengannya, “untuk apa kau
disini?” ucapku kasar. Sedetik kemudian ia sudah tak mengukur jarak di depan
wajahku, kian mendekat dan terus mendekat, “tak bisakah kau sedikit saja
bersikap ramah padaku?” ia menyeringai dengan mata penuh dendam. Aku bisa
melihatnya.
“Tak perlulah bagiku untuk beramah tamah
di hadapanmu, tak cukupkah bagimu untukku membodohi diriku sendiri?” serangan
telak tak mampu membuatnya berkutik. Ia terdiam. Penuh tanda tanya, ia pergi.
Ya, aku memang tak ingin berdamai dengannya, berjabat tangan dengannya pun aku
tak sudi. Enggan hatiku untuk menilik kembali masa lalu yang telah hilang itu.
Aku terus berjalan dikoridor waktu,
entah dimana jalan keluarnya, tak ada celah, tak ada pintu, tak ada jalan
kembali. Kemana sebenarnya ia membawaku? Pikirku tak memberi jawab bahkan tak
membiarkanku sejenak untuk beristirahat. Terus berjalan, ditepian tiang koridor
aku melihatnya, melihat masa laluku yang telah berdamai denganku.
“Ada apa?” suaraku membuatnya
terkejut, “kemarilah, lihatlah ini!” ia bergeser dan terlihatlah sebuah benda
kecil nan megah tak bercahaya namun kian lama kian meredup. “Apa itu? Kenapa
kau ingin aku melihatnya?” Ia terdiam sejenak. “Bukan kau yang melalui waktu,
tapi biarlah waktu yang melewatimu. Berdamailah. Karena waktu tak pernah
memberimu kesempatan kedua”. “Aku mengerti”. Terhenyak menatap benda kecil yang
kian bersinar hingga menyilaukan mataku. Hilang. Ia menghilang.
Ditepi tebing curam, ku lihat diriku
berdiri tanpa teman, ditengah rindangnya pepohonan yang tumbuh secara liar,
diterkam angin yang berhembus kencang semakin lama tubuh ini semakin goyah,
terpejam mata ini dan perlahan pijakan kaki bergerak maju hingga akhir tepian
tebing. Teriakan kasar air laut menghujam tubuh yang terjerembab didalam air,
ombak mengombang-ambing tubuh lelah yang tak berjiwa.
***
Tersentak mata ini terbuka,
langit-langit kamar terlihat jelas dengan lampu padam yang menggantung
menghiasi langit kamar, keringat tak henti mengalir disekujur tubuh, nafas yang
memburu seperti sehabis maraton selama berjam-jam. Menghirup nafas dalam,
merasakan angin-angin yang masuk melalui pori-pori yang terbuka, melepaskan
penjara udara melintasi bibir mungil yang agak terbuka. Terduduk ditepi
ranjang, menggenggam kunci mimpiku yang terlihat berkarat. Telah lama aku tak
membukanya, mereka tak inginkan aku datang.
Dunia gelap tak berwajah, memendam
beberapa kenangan yang terkubur perlahan dalam pikiran, rinai hujan ini
meresonansi kembali pikiran-pikiran yang seharusnya sudah ku lupakan. Perlahan
menengadahkan tangan, mengumpulkan butir-butir hujan yang jatuh menetes dari
atap-atap rumah. Semburat cahaya mulai nampak, mata yang terbuka disambut
indahnya pelangi, hari mulai terang dan hujan semakin menyurut. Langit sudah
lelah untuk menangis, meratapi kehidupan yang tak kunjung membaik, semakin
kejam dan terus menusuk dada hingga sesak. Aku berdiri ditengah ribuan duri
yang tumbuh di kisahku, tertatih menggapai muara disudut jalan, menepi pada
bara api yang membara, tak ada waktu untuk berhenti.
“Lois,
bukan aku tak ingin menerimanya. Aku hanya... ah sudahlah, lupakan saja!”.
Seperti malam sebelumnya, temaram kini semakin pekat, dinginnya melekat hingga
ke tulang, menyapa setiap bulu kudukku untuk berdiri merasakan tebasan angin
yang menerpa tanpa henti. Kebisuan malam terus membungkam hati untuk tak lagi
bicara, sepatah katapun, tak sedikitpun.
Cahaya
lampu yang redup kian membutakan mataku, mengajakku untuk berkeliling di dalam
kegelapan, apakah hari memang tak pernah
seindah ini? Berdiam dalam ketenangan. Hanya bermandikan cahaya bulan.
Ah aku melihatnya, dia yang dalam gelap
tak bercahaya, menyatu dengan alam yang tak terduga kapan tertiup angin.
Langit-langit kamar yang diam seribu bahasa enggan untuk menjadi saksi hadirnya
ia dalam kehidupanku. Disini, dilantai ini ia pernah menapaki langkah kakinya
untuk pertama kalinya, tepat dihari ini tiga tahun yang lalu.