Cerita, Cinta, dan Kita

Selasa, 16 Februari 2016

Diam itu Pengecut

Tuhan menganugerahkan mu sebuah mulut beserta lidahnya. Bila memang sulit berbicara maka diam (mungkin) merupakan jawaban. Menurutmu. Beranilah. Jangan jadi pengecut yang bersembunyi di balik diam. Kau mengenalku, kau mengerti dengan baik bagaimana diriku, tak apa bukan jika kau berbicara yang sebenarnya padaku?
Terimakasih bila kau mengira hal tersebut akan menyakitkan ku, sehingga kau lebih memilih untuk diam. Tapi aku pun bukan Tuhan yang bisa mengetahui isi hati setiap manusia, aku butuh sesuatu untuk dijelaskan.
Bolehkah aku bersikap antagonis sekali ini? Bukan, bukan karena aku merasa akulah yang paling benar, akulah orang terbaik. Kau tahu bagaimana rasa jengah menyergapmu? Jangan biarkan rasa itu datang padaku, dan aku berbalik arah dari pandanganmu. Aku masih temanmu.
Manusia bukanlah pajangan dinding yang bisa diabaikan, hatinya diciptakan oleh Tuhan, karenanya sangatlah kuat. Bukan berarti hati yang kuat, bisa kau perlakukan semaumu, bisa kau iris setiap kau merasa sakit, bisa kau lempar jika kau sedang marah, bisa kau injak-injak jika kau merasa terhina.
Kau cerdas, aku percaya. Maka dari itu aku pun percaya kau bisa menyelesaikannya dengan cerdas.
Read More

Rabu, 10 Februari 2016

Karena Kata Membuatmu Percaya -Prolog-

Malam ini masih di hiasi hujan, rintik – rintiknya menemani setiap detik di waktu tidurku, bunyi – bunyi petir yang menyambar, sekejap melintas beralun tenang seakan mengerti keadaanku, meramaikan dunia mimpiku, meski langit gelap tapi Tuhan masih memberi sedikit cahaya di langitku. Tak lama, Iris menampakkan sedikit keindahannya, melintas di sepanjang penglihatan, mewarnai langit yang sedari tadi mendung, pekat tak menarik.
            Semilir angin berhembus bersahutan dengan rinai hujan yang masih setia membasahi bumi. Dalam lelapnya malam yang tak tersapa, dengan asa digenggaman jemari, ku beranikan diri untuk menyapa mimpi. Sedang apa aku didalam mimpi? Ah, seharusnya ku putar saja anak kunci dipintu itu, tak usah bertanya, karena hanya aku yang mengetahui jawabnya.

Iris : dewi pelangi dalam mitologi yunani

***

Aku berdiri sendiri ditengah kerumunan orang yang lalu lalang melintasi jalanan, tak ada satupun yang ku kenal. Semuanya terasa asing, suasana ini, dan juga orang – orang ini. Tubuh ini terasa kaku, bibir ini tak ingin berkata meski hati berkali-kali berteriak memanggil seseorang yang membelakangiku, seseorang yang sempat menoleh namun tak sempat ku sapa dengan baik. Seharusnya ku biarkan ia pergi berlalu dan tak menoleh lagi, tapi kali ini aku memberinya kesempatan untuk kembali melihatku dan meninggalkanku, kesekian kalinya aku kehilangan.
Kehilangan. Kata yang mungkin menjemukan untuk semua umat, termasuk diriku. Bukan lagi berbicara tentang kekuatan saat ditinggalkan, kepiawaian menghadapi kesendirian, kesanggupan mencintai kesepian. Kehilangan yang selalu menjadi topik mengerikan pada pembicaraan apapun. Sekarang bukan lagi saatnya bercengkrama dengan ketakutan akan rasa ditinggalkan, sendirian bahkan kesepian, sudah saatnya beranjak dari ketakutan itu dan belajarlah mencintai kesendirianmu. Karena sendiri bukan berarti sepi, karena sendiri bukan berarti hampa.
“Ini hanya mimpi” bisik hati kecilku menenangkan. “Tak perlu khawatir, aku akan datang menemuimu, aku tak pernah melupakanmu, hanya sedikit melihatmu berbeda karena waktu yang merubahnya” suara parau yang tak asing ditelingaku, seseorang yang mungkin tadi meninggalkanku, kini berada di belakangku sembari membisikkan kata yang tak ingin aku dengar dari bibirnya. Terpaku terpana merasakan hembusan nafas dari mulutnya yang berhembus menjalari telinga dan leher jenjangku, aku masih tak ingin menoleh dan melihat siapa yang sedang berbicara padaku, ku biarkan perasaan ini mengambang dibatas waktu senja ini.
 Aku tak pernah mengira akan kembali bertemu dengan masa lalu yang akupun belum bisa berdamai dengannya, “untuk apa kau disini?” ucapku kasar. Sedetik kemudian ia sudah tak mengukur jarak di depan wajahku, kian mendekat dan terus mendekat, “tak bisakah kau sedikit saja bersikap ramah padaku?” ia menyeringai dengan mata penuh dendam. Aku bisa melihatnya.
            “Tak perlulah bagiku untuk beramah tamah di hadapanmu, tak cukupkah bagimu untukku membodohi diriku sendiri?” serangan telak tak mampu membuatnya berkutik. Ia terdiam. Penuh tanda tanya, ia pergi. Ya, aku memang tak ingin berdamai dengannya, berjabat tangan dengannya pun aku tak sudi. Enggan hatiku untuk menilik kembali masa lalu yang telah hilang itu.
            Aku terus berjalan dikoridor waktu, entah dimana jalan keluarnya, tak ada celah, tak ada pintu, tak ada jalan kembali. Kemana sebenarnya ia membawaku? Pikirku tak memberi jawab bahkan tak membiarkanku sejenak untuk beristirahat. Terus berjalan, ditepian tiang koridor aku melihatnya, melihat masa laluku yang telah berdamai denganku.
            “Ada apa?” suaraku membuatnya terkejut, “kemarilah, lihatlah ini!” ia bergeser dan terlihatlah sebuah benda kecil nan megah tak bercahaya namun kian lama kian meredup. “Apa itu? Kenapa kau ingin aku melihatnya?” Ia terdiam sejenak. “Bukan kau yang melalui waktu, tapi biarlah waktu yang melewatimu. Berdamailah. Karena waktu tak pernah memberimu kesempatan kedua”. “Aku mengerti”. Terhenyak menatap benda kecil yang kian bersinar hingga menyilaukan mataku. Hilang. Ia menghilang.
Ditepi tebing curam, ku lihat diriku berdiri tanpa teman, ditengah rindangnya pepohonan yang tumbuh secara liar, diterkam angin yang berhembus kencang semakin lama tubuh ini semakin goyah, terpejam mata ini dan perlahan pijakan kaki bergerak maju hingga akhir tepian tebing. Teriakan kasar air laut menghujam tubuh yang terjerembab didalam air, ombak mengombang-ambing tubuh lelah yang tak berjiwa.

***

Tersentak mata ini terbuka, langit-langit kamar terlihat jelas dengan lampu padam yang menggantung menghiasi langit kamar, keringat tak henti mengalir disekujur tubuh, nafas yang memburu seperti sehabis maraton selama berjam-jam. Menghirup nafas dalam, merasakan angin-angin yang masuk melalui pori-pori yang terbuka, melepaskan penjara udara melintasi bibir mungil yang agak terbuka. Terduduk ditepi ranjang, menggenggam kunci mimpiku yang terlihat berkarat. Telah lama aku tak membukanya, mereka tak inginkan aku datang.
Dunia gelap tak berwajah, memendam beberapa kenangan yang terkubur perlahan dalam pikiran, rinai hujan ini meresonansi kembali pikiran-pikiran yang seharusnya sudah ku lupakan. Perlahan menengadahkan tangan, mengumpulkan butir-butir hujan yang jatuh menetes dari atap-atap rumah. Semburat cahaya mulai nampak, mata yang terbuka disambut indahnya pelangi, hari mulai terang dan hujan semakin menyurut. Langit sudah lelah untuk menangis, meratapi kehidupan yang tak kunjung membaik, semakin kejam dan terus menusuk dada hingga sesak. Aku berdiri ditengah ribuan duri yang tumbuh di kisahku, tertatih menggapai muara disudut jalan, menepi pada bara api yang membara, tak ada waktu untuk berhenti.
“Lois, bukan aku tak ingin menerimanya. Aku hanya... ah sudahlah, lupakan saja!”. Seperti malam sebelumnya, temaram kini semakin pekat, dinginnya melekat hingga ke tulang, menyapa setiap bulu kudukku untuk berdiri merasakan tebasan angin yang menerpa tanpa henti. Kebisuan malam terus membungkam hati untuk tak lagi bicara, sepatah katapun, tak sedikitpun.
Cahaya lampu yang redup kian membutakan mataku, mengajakku untuk berkeliling di dalam kegelapan, apakah hari memang tak pernah seindah ini? Berdiam dalam ketenangan. Hanya bermandikan cahaya bulan.
            Ah aku melihatnya, dia yang dalam gelap tak bercahaya, menyatu dengan alam yang tak terduga kapan tertiup angin. Langit-langit kamar yang diam seribu bahasa enggan untuk menjadi saksi hadirnya ia dalam kehidupanku. Disini, dilantai ini ia pernah menapaki langkah kakinya untuk pertama kalinya, tepat dihari ini tiga tahun yang lalu.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Description

Seorang istri, anak, kakak, adik, dan pendidik.

About Me

Foto saya
Perempuan biasa yang tak pandai bicara

Friendship

Pageviews

About

Untaian kata yang tak pernah henti terurai. Huruf-huruf yang tersedak di tenggorokan, menutup muka untuk keluar. Semakin dalam, semakin sulit diungkapkan. Lewat tulisan aku menyapamu, lewat tulisan aku bercerita dan lewat tulisan aku mengenalmu.